KABARBURSA.COM – Bank Mandiri, sebagai bank pelat merah, menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung pemerintah untuk mencapai target net zero emissions (NZE) pada tahun 2060 dan memimpin di bidang pembiayaan hijau.
Alexandra Askandar, Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, menyampaikan hal tersebut dalam sesi diskusi bertema ‘Financing Enabler for ESG (APINDO and Kearney Session)’ pada Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2024, yang berlangsung di JCC Senayan, Jakarta, pada Jumat, 6 September 2024.
Adapun IISF merupakan platform untuk berkolaborasi bersama dengan para pemangku kepentingan dalam melakukan dekarbonisasi, mempercepat dan mencapai pertumbuhan berkelanjutan.
“Dalam rangka melakukan efisiensi energi, Bank Mandiri telah melakukan transformasi melalui digitalisasi layanan yakni dengan SuperApps seperti Livin’ dan Kopra,” ujar Alexandra, dalam siaran pers yang diterima Kabar Bursa, Senin 9 September 2024.
Bank Mandiri juga telah mengimplementasikan strategi pengimbangan karbon, seperti membeli kredit karbon dan berinvestasi dalam proyek-proyek karbon seperti restorasi lahan dan konservasi, serta berfungsi sebagai agen pembangunan.
“Komitmen Bank Mandiri yang telah dilakukan dalam memimpin transisi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon adalah dengan pendekatan yang berfokus pada klien,” kata Alexandra.
Untuk itu, Bank Mandiri telah membentuk ESG Desk khusus, yang menyediakan pinjaman berkelanjutan (SLL), pembiayaan bagi perusahaan yang sedang bertransisi, serta produk hijau lainnya.
Melalui ESG Desk, Bank Mandiri telah mengadakan berbagai forum diskusi kelompok (FGD), lokakarya, dan seminar untuk nasabah besar seperti PLN Group, Pertamina Group, Semen Indonesia Group, Sinarmas Group, dan klien korporasi lainnya.
Selain itu, dalam upaya menyosialisasikan pembiayaan berkelanjutan, sektor ritel Bank Mandiri juga meluncurkan kredit pemilikan rumah (KPR) hijau dan reksa dana hijau. Alexandra menambahkan bahwa mencapai target ekonomi rendah karbon Indonesia bukanlah hal yang mudah dan memerlukan penanganan serta strategi khusus.
Pertama, Indonesia telah menggunakan bahan bakar fosil dalam waktu yang cukup lama, sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk berpindah menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan.
Kendati begitu, kata Alexandra, Bank Mandiri tetap optimis lantaran potensi energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah.
Di sisi lain, Alexandra juga menyebut perlu dukungan regulasi dan kebijakan melalui mekanisme insentif maupun disinsentif seperti subsidi dan pajak karbon.
Menurutnya, adanya mekanisme insentif dapat memberikan konsekuensi finansial bagi bisnis yang menghasilkan emisi tinggi dan memberikan insentif jika bisnis beralih ke praktik berkelanjutan.
“Namun, saya yakin dengan adanya kebijakan dan mekanisme yang kuat untuk mendukung investasi iklim, kita tidak perlu lagi memilih antara keberlanjutan dan pertumbuhan karena keduanya dapat berjalan beriringan untuk mencapai tujuan keberlanjutan kita,” kata Alexandra.
RI Butuh Rp4.000 Trilun Tekan Emisi gas
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Indonesia memerlukan dana sebesar USD281 miliar atau Rp4.000 triliun untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam beberapa tahun ke depan.
Untuk mendapatkan dana yang sangat besar ini tidak mungkin hanya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kita memerlukan USD281 miliar atau Rp 4.000 triliun. Ini jauh melebihi total anggaran belanja tahunan Indonesia. Oleh karena itu, anggaran publik atau fiskal tidak bisa menjadi satu-satunya sumber pembiayaan,” kata Sri Mulyani di acara Indonesia International Sustainability Forum 2024 yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat, 6 September 2024.
Dana tersebut diperlukan untuk mencapai target pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 31,89 persen melalui usaha sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030, sesuai dengan target Nationally Determined Contribution (NDC). Sri Mulyani pun mengajak sektor swasta untuk berpartisipasi dalam upaya ini.
Dia menyebutkan, pemerintah telah menyiapkan berbagai insentif bagi pihak swasta yang ingin terlibat.
“Kami menggunakan instrumen fiskal seperti tax allowance, tax holiday, dan pembebasan bea masuk untuk menciptakan aturan yang mendukung keterlibatan sektor swasta, serta banyak insentif lainnya untuk mendorong partisipasi mereka,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga telah menciptakan berbagai instrumen untuk memperoleh pendanaan bagi perubahan iklim, termasuk menerbitkan sukuk, green sukuk, dan blue bonds dengan total sekitar USD7,07 miliar antara 2018-2023.
Selain instrumen fiskal, pemerintah membangun mekanisme pasar untuk pembiayaan perubahan iklim melalui penetapan harga karbon, yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Aturan ini mencakup mekanisme perdagangan untuk menetapkan harga dan mekanisme non-perdagangan.
“Semua mekanisme ini sudah mulai dijalankan. Kami juga sedang mempersiapkan peraturan teknis untuk menerapkan perdagangan karbon lintas batas,” jelasnya.(*)