KABARBURSA.COM – Morgan Stanley kembali memangkas proyeksi harga minyak mentah Brent untuk kedua kalinya dalam beberapa pekan terakhir. Tekanan permintaan yang semakin meningkat sementara pasokan tetap melimpah menjadi alasan di balik revisi ini.
Menurut catatan analis, termasuk Martijn Rats, harga patokan global tersebut diperkirakan akan mencapai rata-rata USD75 per barel pada kuartal keempat 2024. Ini lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar USD80, yang telah dipangkas bulan lalu dari prediksi awal sebesar USD85.
Pemangkasan ini juga meliputi sebagian besar tahun depan. Harga Brent, yang baru-baru ini merosot ke level penutupan terendah sejak akhir 2021, mencerminkan kekhawatiran pasar atas permintaan dari China yang melemah serta tanda-tanda perlambatan ekonomi di Amerika Serikat.
Sementara itu, produksi minyak global terus melimpah. OPEC+ terpaksa menunda rencana untuk melonggarkan pembatasan produksinya, mengingat kondisi pasar yang masih belum mendukung.
Lintasan harga minyak saat ini memiliki kemiripan dengan periode pelemahan permintaan yang cukup signifikan di masa lalu, ujar Rats dan tim analisnya dalam laporan tertanggal 9 September 2024.
Mereka juga menyoroti time spread, perbandingan harga di sepanjang kurva berjangka, yang menunjukkan peningkatan inventaris seperti kondisi resesi. Meski demikian, terlalu dini untuk menjadikan hal ini sebagai skenario utama bagi Morgan Stanley.
Pemikiran ulang Morgan Stanley ini sejalan dengan kekhawatiran di sejumlah bank besar lainnya. Goldman Sachs bulan lalu memangkas proyeksinya, sementara Citigroup baru-baru ini menyatakan bahwa pasar terlihat kelebihan pasokan, dan harga bisa turun hingga rata-rata USD60 per barel pada tahun 2025, kecuali OPEC+ mengambil langkah pemangkasan lebih dalam.
Harga minyak Brent, yang telah jatuh hampir 10 persen pekan lalu, diperdagangkan mendekati USD72 per barel pada Senin 9 September 2024.
Harga minyak dunia mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah mencapai titik terendah dalam 14 bulan terakhir, didorong oleh spekulasi bahwa OPEC+ akan menunda rencana kenaikan produksi.
Pada penutupan perdagangan Jumat 6 September 2024, minyak mentah WTI berjangka tercatat di level USD67,67 per barel, penutupan terendah sejak awal Juli 2023. Sementara itu, minyak mentah Brent jatuh ke level USD71,06 per barel, turun 2,24 persen dalam satu hari, dan memperpanjang tren penurunan selama enam hari berturut-turut. Pekan lalu, harga Brent mencapai titik terendah sejak awal Mei 2023.
Sepanjang minggu, harga Brent anjlok 9,82 persen, sedangkan WTI turun 7,99 persen, mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap permintaan yang melemah di tengah pasokan yang melimpah.
Namun, pada Senin pagi 9 September 2024, harga minyak mulai menunjukkan pemulihan. Hingga pukul 08.30 WIB, harga WTI tercatat naik 1,43 persen, sementara Brent menguat 1,39 persen.
Pemulihan harga ini dipicu oleh sinyal OPEC+ yang kini mempertimbangkan penundaan kenaikan produksi minyak, yang sebelumnya direncanakan akan dimulai pada bulan Oktober. Penundaan ini muncul setelah harga minyak terjun bebas selama beberapa bulan terakhir, memaksa organisasi negara-negara pengekspor minyak tersebut untuk merombak rencana.
OPEC+, yang dipimpin oleh Rusia, sebelumnya telah berencana menaikkan produksi sebesar 180.000 barel per hari pada bulan Oktober, sebagai bagian dari strategi untuk mengakhiri pemangkasan produksi. Namun, prospek peningkatan pasokan justru menekan harga di tengah melemahnya permintaan global, terutama setelah data tenaga kerja AS yang mengecewakan menguatkan sinyal pelemahan ekonomi Amerika Serikat.
Di sisi lain, data ekonomi yang kurang memuaskan dari China, sebagai importir minyak terbesar di dunia, turut memperburuk prospek ekonomi global dan memperdalam tekanan terhadap harga minyak.
Keputusan ICP ESDM
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) untuk Agustus 2024 telah ditetapkan sebesar USD 78,51 per barel. Angka ini menurun dari bulan sebelumnya yang mencapai USD 82 per barel.
Penurunan tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 348.K/MG.03/DJM/2024 tentang Harga Minyak Mentah Bulan Agustus 2024, tertanggal 2 September 2024. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, menjelaskan bahwa melemahnya harga minyak mentah dunia menjadi faktor utama penurunan ICP.
“Penurunan ini sejalan dengan turunnya harga minyak mentah utama di pasar internasional, dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap penurunan permintaan serta sentimen negatif yang beredar. Kondisi ini juga diperkuat oleh meredanya ketegangan politik di kawasan Timur Tengah,” ungkap Agus dalam keterangan resmi, akhir pekan 6 September 2024.
Ia menambahkan bahwa rencana OPEC+ untuk mengakhiri pengurangan produksi secara sukarela mulai Oktober 2024 turut menjadi penyebab turunnya harga minyak. Langkah tersebut diperkirakan akan meningkatkan pasokan minyak global di akhir tahun 2024.
Selain itu, International Energy Agency (IEA) dalam laporan bulan Agustus 2024 melaporkan peningkatan produksi minyak mentah global sebesar 230 ribu barel per hari (bph), sehingga total produksi mencapai 103,4 juta bph. Kenaikan ini terjadi seiring dengan kembalinya pasokan dari OPEC+ ke pasar serta peningkatan produksi dari negara-negara non-OPEC+.
IEA dan OPEC juga menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak, terutama untuk tahun 2025, dengan alasan utama perlambatan ekonomi global dan melemahnya konsumsi minyak di Tiongkok, terang Agus lebih lanjut.
Di wilayah Asia Pasifik, selain faktor-faktor tersebut, penurunan harga minyak juga dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi China, yang tercermin dari turunnya Purchasing Manager Index (PMI) di sektor manufaktur maupun non-manufaktur.
Penurunan permintaan minyak dan BBM di China juga terkait dengan meningkatnya penggunaan kendaraan listrik dan kendaraan berbahan bakar gas alam cair, yang berkontribusi pada menurunnya harga minyak mentah.
Faktor lain yang turut memengaruhi adalah revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang oleh OPEC, dari 0,3 persen menjadi 0,2 persen, akibat lemahnya iklim investasi pada paruh pertama tahun 2024. (*)