Scroll untuk baca artikel
Market Hari Ini

GGRM Masih Dianggap Beban Meskipun Bea Cukai Batal Naik

×

GGRM Masih Dianggap Beban Meskipun Bea Cukai Batal Naik

Sebarkan artikel ini
gudanggaram
Pabrik Gudang Garam (GGRM). (Foto: Dok GGRM)

KABARBURSA.COM – Saham Gudang Garam Tbk (GGRM) hingga saat ini masih dianggap menjadi sebuah beban, meskipun rencana kenaikan bea cukai dibatalkan. Pergerakan saham GGRM pada Jumat, 18 Oktober 2024 ditutup melemah 25 poin atau setara dengan 0,16 persen ke level Rp15.625 per lembar saham.

Meskipun harga saham GGRM mengalami penurunan, pergerakan yang relatif stabil ini dapat diartikan sebagai reaksi pasar yang hati-hati terhadap faktor-faktor eksternal. Penurunan harga yang tidak signifikan menunjukkan bahwa investor masih memiliki kepercayaan yang cukup baik terhadap prospek perusahaan dalam jangka panjang.

Dengan volume transaksi sebanyak 2.000 lot, nilai total perdagangan mencapai sekitar Rp2,5 miliar. Namun, pergerakan ini juga bisa mencerminkan ketidakpastian di pasar, mengingat saham ini berada di bawah tekanan jual meskipun dengan fluktuasi harga yang terbatas. Investor disarankan untuk tetap memantau perkembangan lebih lanjut serta kondisi pasar yang lebih luas untuk membuat keputusan investasi yang lebih tepat.

Dengan mempertimbangkan data di atas, saham GGRM menunjukkan ketahanan di tengah fluktuasi pasar yang lebih besar, tetapi investor harus waspada terhadap potensi perubahan arah yang lebih signifikan ke depan.

Meskipun Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta, mengatakan pembatalan kenaikan cukai membawa prospek bagus pada emiten rokok seperti WIIM, GGRM, hingga HMSP, namun prediksi cerah ini sepertinya belum akan terjadi dalam waktu dekat.

Tidak hanya GGRM, HMSP dan WIIM pun terlihat masih lemah. HMSP atau HM Sampoerna Tbk juga mengalami penurunan dalam perdagangan saham hari ini. Di akhir pekan, HMSP terkoreksi 5 poin atau setara dengan 0,70 persen ke level Rp705. Serupa dengan WIIM yang ikut turun 5 poin atau setara dengan 0,52 persen ke level Rp950.

“Tidak saat ini, pembatalan penerapan CHT tahun depan kemungkinan akan ikut memperbaiki kinerja fundamental sejumlah emiten rokok,” kata Nafan.

Terkait dengan rekomendasi, Nafan mengatakan accumulative buy untuk emiten GGRM dengan target harga Rp17.000 per lembar dan Rp18.875 per lembar dengan level support berada di angka Rp15.525 per lembar.

Sementara itu, PT Kiwoon Sekuritas Indonesia memberikan rekomendasi netral. Analis Kiwoon Sekuritas Abdul Azis Setyo Wibowo mengatakan masih ada potensi peralihan konsumsi rokok ke produk yang lebih murah lantaran kelas menengah mulai downgrade, sehingga lebih memilih produk yang murah untuk dikonsumsi.

Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani, menyampaikan sampai dengan akhir pembahasan Rancangan Undangan-undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang telah diketok palu pada pekan lalu, pemerintah belum akan menaikkan tarif cukai rokok.

Tapi, pemerintah memberikan sinyal akan mengeluarkan kebijakan alternatif lainnya dengan menyesuaikan harga jual di level industri.

Wacana Kenaikan Cukai Rokok Listrik

Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo, menegaskan pentingnya pengawasan dan regulasi yang lebih ketat terhadap rokok elektrik, terutama yang mengandung zat berbahaya. Namun, ia juga mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang tidak bisa begitu saja meniru kebijakan dari negara lain.

Firman mengatakan, cukai rokok memberikan kontribusi signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menyebut, penerimaan dari cukai rokok mencapai lebih dari Rp200 triliun setiap tahunnya. Selain itu, industri rokok juga menyerap banyak tenaga kerja dan mendukung pasar tradisional di sekitar pabrik rokok.

“Penyerapan tenaga kerja, belum dari pajak-pajak lainnya atau dari nilai sosialnya. Bahwa dengan adanya pabrik rokok yang masih tenaga konvensional itu menghidupi yang namanya pasar tradisional di sekitar pabrik rokok,” kata Firman kepada Kabarbursa.com, Selasa, 7 Juli 2024.

Namun, tantangan besar muncul dari rokok elektrik. Firman menyarankan pemerintah untuk meningkatkan cukai rokok elektrik sebagai upaya menyeimbangkan penerimaan negara. Ia juga menyoroti peredaran rokok elektrik yang mencapai Rp5 triliun, baik dari investasi maupun impor.

“(Untuk memaksimalkan cukai rokok elektrik) kita serahkan kepada pemerintah. Jangan hanya cukai rokok tembakau saja yang dinaikkan terus,” ujarnya.

Firman juga menekankan pengawasan terhadap rokok elektrik yang mengandung narkoba. Baginya, kontrol ketat terhadap produk-produk ini sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan yang berbahaya.

“Yang kita harus waspadai itu adalah jangan sampai rokok-rokok elektrik yang berbahan baku likuid yang mengandung narkoba itu harus kita awasi. Kita kontrol secara ketat,” tegasnya.

Meski demikian, Firman tidak sependapat jika rokok konvensional harus diatur dengan regulasi yang sama seperti di Australia.

Diketahui, pemerintah Australia baru saja menerapkan peraturan ketat terkait penjualan rokok elektronik, termasuk vape. Aturan ini mulai berlaku sejak Senin, 1 Juli 2024. Dalam peraturan tersebut, vape hanya boleh dijual di apotek dengan kemasan polos dan varian rasa yang sangat terbatas.

Peraturan baru ini mengharuskan vape yang dijual di apotek hanya memiliki tiga varian rasa: mint, mentol, dan tembakau. Pembeliannya pun harus disertai dengan resep dokter. Menteri Kesehatan Australia Mark Butler, menyatakan kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi kecanduan nikotin di kalangan generasi muda. Sebelumnya, pemerintah Australia juga telah melarang impor vape sekali pakai dan penjualan vape di toko-toko ritel, menjadikannya salah satu aturan paling ketat di dunia.

“Jarang sekali parlemen mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu yang benar-benar bermakna dan bermanfaat bagi kesehatan generasi muda Australia,” ujar Butler.

Namun, aturan ketat ini tidak akan berlaku lama. Mulai Oktober mendatang, pembelian vape dengan resep dokter hanya akan diberlakukan untuk anak-anak di bawah 18 tahun, sesuai dengan kesepakatan yang dicapai parlemen saat mengesahkan aturan tersebut.

Menurutnya, Indonesia tak harus mengikuti kebijakan yang sama dengan Australia, dengan dalih menekan kecanduan nikotin. Pasalnya, kata dia, rokok tidak serta-merta menyebabkan kematian seperti yang sering digaungkan oleh kelompok tertentu.

“Kalau rokok yang biasa itu nggak apa-apa? Rokok itu kan tidak serta-merta terus membuat orang mati. Ini kan hanya pembenaran daripada kelompok tertentu yang mengatakan bahwa penyebab kematian itu adalah yang namanya dari rokok,” ujarnya.

Firman menjelaskan peraturan yang berlaku di Indonesia harus memperhatikan kepentingan dalam negeri dan tidak bisa diintervensi oleh kebijakan asing, termasuk dari NGO. Ia menegaskan pentingnya regulasi yang tepat untuk melindungi kesehatan masyarakat tanpa mengorbankan sektor ekonomi yang telah memberikan kontribusi besar bagi negara.

“Kita harus waspada bahwa negara yang berdaulat itu tidak boleh diintervensi oleh kebijakan manapun, apalagi NGO. Itu yang harus kita sadarkan kepada masyarakat,” kata Firman.(*)