KABARBURSA.COM – Sejumlah sektor di pasar modal bakal diuntungkan ketika presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming memimpin pemerintahan mendatang. Setidaknya, dua sektor dan emiten tertentu mendapat sentimen positif ini.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana menyebut bahwa sektor ritel masuk dalam bagian yang mungkin meraup cuan. Ini berkaitan erat dengan terget pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar delapan persen.
“Jika memang mencapai level delapan persen, biasanya pendorong utama kalau berdasarkan pengeluaran dari produk domestik bruto (PDB) biasanya dari konsumer, pengeluaran masyarakat,” ujar dia kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 19 Oktober 2024.
Selain itu, sektor kedua yang mendapat angin segar dari pertumbuhan ekonomi super tinggi itu ialah infrastruktur. Menurut Fikri, pembangunan saat ini masih menopang kemajuan positif ekonomi nasional.
“Emiten-emiten terkait dengan infrastruktur, apakah itu dengan pembangunan, telekomunikasi, dan seterusnya juga akan diuntungkan,” ucap dia.
Lebih rinci lagi, Fikri menjelaskan emiten-emiten yang memiliki value added khususnya bidang ekspor berpotensi meraih peluang keuntungan yang baik. “Mungkin beberapa emiten-emiten yang memiliki kemampuan re-ekspor juga akan diuntungkan nantinya,” ungkap Fikri.
Namun di satu sisi, Fikri menegaskan saham-saham yang dinilai diuntungkan tersebut juga perlu disoroti. Salah satunya adalah dengan memperhatikan cost of fund emiten-emiten tersebut.
“Tapi di sisi lain yang juga perlu dilihat adalah bagaimana mereka bisa menyeimbangkan antara cost of fund mereka dalam bentuk global bond yang mereka terbitkan, dengan pendapatan yang akan mereka terima nantinya,” ungkapnya.
Target Pertumbuhan Ekonomi Delapan Persen
Terkait pertumbuhan ekonomi tersebut, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengaku skeptis dengan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan presiden terpilih, Prabowo Subianto. Alasannya, International Monetary Fund (IMF) dan lembaga internasional lainnya memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran lima persen.
Kendati begitu, dia tak menutup mata kesiapan Indonesia mengejar target tersebut jika melihat pertumbuhan kredit perbankan, lapangan kerja, dan investasi yang terus tumbuh.
Di sisi lain, swasembada pangan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Tauhid, sejarah menunjukkan saat Indonesia berhasil mencapai swasembada pada era kepemimpinan Soeharto, di mana sektor pertanian tumbuh hingga lima persen. Namun, untuk mencapainya lagi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah ekstensifikasi lahan sawah secara besar-besaran.
“Ekstensifikasi lahan pertanian tidak bisa dihindari jika kita ingin mengejar swasembada pangan. Ini bukan tugas mudah, tetapi wajib dilakukan,” kata Tauhid dalam keterangan tertulisnya, 7 Oktober 2024.
Dengan proyeksi kebutuhan beras nasional mencapai 33 juta ton, Tauhid menyebut Indonesia perlu memproduksi minimal 35 juta ton beras. Dengan begitu, dia menilai, program cetak sawah menjadi menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.
“Tapi pemerintah harus memiliki target produksi yang jelas untuk lahan-lahan baru tersebut, apalagi produktivitasnya pasti tidak akan bisa langsung setinggi lahan existing. Jadi lokasinya di mana saja dan kemampuan produksinya berapa, itu harus bisa diprediksi dari sekarang,” tegas Tauhid.
Di sisi lain, Tauhid juga turut mengomentari ketidaksinkronan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional yang disusun pemerintah dengan visi Prabowo Subianto yang tertuang dalam Asta Cita. Dari delapan Asta Cita, tiga di antaranya secara eksplisit mendukung kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, dan air.
“Namun dokumen RPJM yang disusun pemerintah justru tidak mengakomodasi sektor pertanian sebagai prioritas utama,” ungkapnya.
Dalam Asta Cita, terdapat tiga program prioritas terkait sektor pertanian yang dinilai penting untuk mencapai kemandirian pangan. Pertama, mencapai swasembada pangan, energi, dan air. Kedua, menjamin ketersediaan pupuk, benih, dan pestisida langsung ke petani. Ketiga, melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi berbasis sumber daya alam.
Lebih lanjut, Tauhid menegaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, khususnya target 8 persen pada 2029, sinkronisasi antara RPJM dan Asta Cita sangat krusial. “Tidak bisa kita hanya berfokus pada dokumen RPJM tanpa mempertimbangkan arah kebijakan strategis yang diusung oleh presiden terpilih,” tutupnya.
Dukungan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Delapan Persen
Sebelumnya diberitakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan komitmennya untuk mendukung setiap upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat berimbas positif pada pertumbuhan kredit perbankan.
“Secara prinsip, OJK akan mendukung segala langkah pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya juga akan berdampak positif terhadap pertumbuhan kredit perbankan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (KEPP) OJK, Dian Ediana Rae, dalam pernyataannya.
Dian menjelaskan bahwa OJK berencana untuk menyusun proyeksi pertumbuhan kredit perbankan pada akhir 2024. Proyeksi ini akan dituangkan dalam bentuk Rencana Bisnis Bank (RBB) untuk tahun 2025, yang disusun berdasarkan realisasi hingga September 2024.
Dia menekankan pentingnya perbankan untuk memantau kondisi ekonomi baik di tingkat global maupun domestik, mengingat masih ada berbagai tantangan yang harus diwaspadai ke depan.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan mencakup penurunan yang cepat dan signifikan pada Federal Funds Rate (FFR) di Amerika Serikat (AS), hasil Pemilu Presiden (Pilpres) AS, serta kondisi ekonomi dan kebijakan moneter di Tiongkok.
Selain itu, perkembangan konflik geopolitik di Rusia dan Ukraina serta ketegangan di Timur Tengah juga menjadi variabel yang perlu dipertimbangkan. Dian menambahkan, kebijakan pemerintahan baru di Indonesia juga akan menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan RBB 2025.
“Tentunya, berbagai faktor ini, termasuk tingginya ketidakpastian global saat ini, akan menjadi variabel kunci bagi perbankan dalam menyusun RBB 2025,” ujarnya.
Meski menghadapi berbagai tantangan, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan di Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan tren yang positif. Optimisme tetap terjaga di tengah situasi global yang tidak menentu. (*)