KABARBURSA.COM – Laba bersih saham INCO (PT Vale Indonesia Tbk) merosot taham hingg 78,6 presen pada kuartal ketiga tahun ini. Dalam riset yang dilakukan investmen analyst Stockbit Hendriko Gani, dikutip Kamis, 31 Oktober 2024, hal tersebut dipengaruhi beberapa hal.
Penurunan rata-rata harga jual (average selling price/ASP) nikel yang signifikan sebesar -8,9 persen QoQ menjadi penyebab utama penurunan pendapatan ini. Penurunan ASP ini selaras dengan harga nikel di London Metal Exchange (LME), yang turun -12,5 persen QoQ pada kuartal ketiga.
Penurunan harga nikel global diperkirakan akibat adanya potensi oversupply nikel di pasar internasional, yang menekan harga komoditas tersebut. Dampak ini terasa langsung pada kinerja Vale Indonesia yang sangat bergantung pada penjualan nikel sebagai sumber utama pendapatannya.
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Stockbit Sekuritas, laba bersih perusahaan tercatat sebesar USD51 juta, anjlok hingga -78,6 persen YoY dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Laba bersih pada kuartal ketiga tahun 2024 (3Q24) bahkan hanya mencapai USD17 juta, turun -77 persen YoY dan -44 persen QoQ, menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Hasil ini berada di bawah ekspektasi pasar, dengan laba bersih selama 9M24 hanya memenuhi 63 persen dari target Stockbit dan 58 persen dari target konsensus FY24F. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi penurunan kinerja INCO ini adalah penurunan pendapatan dan peningkatan beban pokok pendapatan, serta ketidakstabilan harga nikel global.
Selain penurunan harga jual, INCO juga menghadapi kenaikan beban pokok pendapatan sebesar +1,9 persen QoQ pada 3Q24. Faktor utama yang memicu kenaikan ini adalah peningkatan biaya bahan bakar dan pelumas yang melonjak hingga +9,3 persen QoQ. Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan penggunaan bahan bakar minyak bersulfur tinggi (HSFO) sebesar +2,6 persen QoQ, serta kenaikan harga HSFO sebesar +5,5 persen QoQ.
Peningkatan biaya operasional ini menambah tekanan pada margin keuntungan INCO, terutama di tengah menurunnya harga jual nikel, sehingga berkontribusi pada penurunan laba bersih perusahaan.
Ke depan, kinerja Vale Indonesia masih akan sangat bergantung pada pergerakan harga nikel di pasar global. Harga nikel yang rentan terhadap volatilitas pasar diperkirakan akan menjadi faktor penentu utama bagi pertumbuhan pendapatan dan laba perusahaan.
Selain itu, upaya INCO untuk melakukan efisiensi operasional, termasuk mengendalikan biaya bahan bakar dan produksi, akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas margin keuntungan perusahaan.
Stockbit Sekuritas juga mencatat bahwa dalam earnings call mendatang, akan ada perhatian khusus terhadap kenaikan beban pokok pendapatan dan upaya perusahaan dalam mengatasi tantangan biaya produksi.
Secara keseluruhan, kinerja Vale Indonesia selama 9M24 menunjukkan penurunan tajam dalam laba bersih, didorong oleh penurunan harga nikel global dan kenaikan biaya operasional. Dengan volatilitas harga nikel yang masih menjadi tantangan, investor perlu mencermati strategi efisiensi yang akan diambil oleh perusahaan ke depan untuk menjaga stabilitas keuangannya.
Belum Penuhi Komitmen Investasi
PT Vale Indonesia Tbk (INCO), atau yang dikenal sebagai VALE, belum memenuhi komitmen investasi yang diamanatkan dalam kontrak karya (KK) beserta amandemennya. Hal ini disampaikan dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menunjukkan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum melakukan evaluasi komprehensif terkait pelaksanaan komitmen investasi Vale.
Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I-2024 yang dirilis BPK, seperti dikutip Minggu 27 Oktober 2024, memuat dua indikasi yang berkaitan dengan komitmen Vale saat pengakhiran kontrak karya.
Indikasi pertama adalah terkait ketidakjelasan tenggat waktu bagi Vale untuk menyelesaikan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian di beberapa lokasi. Proyek-proyek ini mencakup pengembangan smelter di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan; fasilitas pengolahan hilir di Bahodopi, Sulawesi Tengah; dan fasilitas pengolahan serta pemurnian di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Kedua, BPK menyoroti bahwa realisasi komitmen investasi Vale untuk membangun pabrik pengolahan nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Dalam laporan tersebut, BPK menilai bahwa akibat belum terealisasinya komitmen ini, pemerintah belum menerima manfaat optimal berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari Blok Sorowako, Blok Bahodopi, dan Blok Pomalaa. Selain itu, terdapat risiko bahwa manfaat dari perpanjangan KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak akan maksimal.
BPK merekomendasikan agar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menginstruksikan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara di Kementerian ESDM, Tri Winarno, untuk meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau pihak independen lain guna melakukan due diligence atas pemenuhan komitmen Vale. Langkah ini sejalan dengan ketentuan dalam amandemen KK yang menjadi dasar perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).(*)
Disclaimer: Artikel ini bukan untuk mengajak, membeli, atau menjual saham. Segala rekomendasi dan analisa saham berasal dari analisis atau sekuritas yang bersangkutan, dan Kabarbursa.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian investasi yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan investor. Pelajari dengan teliti sebelum membeli/menjual saham.