KABARBURSA.COM – Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF Abdul Manap Pulungan, menilai kebijakan dedolarisasi di Indonesia belum dapat diterapkan secara signifikan karena tingginya kebutuhan dolar di berbagai sektor.
Adapun dedolarisasi, atau upaya mengurangi dominasi dolar dalam ekonomi domestik, menjadi isu strategis di tengah penguatan dolar AS yang memengaruhi inflasi dan ekonomi global.
“Kebutuhan dolar di Indonesia sangat besar untuk impor bahan industri, pembayaran utang pemerintah, dan utang swasta. Meskipun ada upaya seperti Local Currency Settlement (LCS) dengan negara-negara ASEAN, nilainya masih kecil. Untuk dedolarisasi yang lebih besar, kita perlu bekerja sama dengan negara-negara pengekspor minyak, karena defisit kita terutama di sana,” ungkap Abdul kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 8 November 2024.
Abdul juga menjelaskan, meskipun dedolarisasi dianggap mampu membantu menstabilkan inflasi, pengaruhnya pada inflasi di Indonesia masih terbatas.
“Inflasi kita lebih dipengaruhi oleh masalah ketahanan pangan dalam negeri daripada depresiasi rupiah. Ketergantungan pada impor pangan cukup tinggi, dan ini terjadi karena produksi lokal tidak cukup optimal,” tambahnya.
Selain itu, Abdul mengingatkan risiko dari kebijakan dedolarisasi yang mungkin berujung pada retaliasi ekonomi dari Amerika Serikat.
“Ketika isu dedolarisasi muncul, sudah ada sinyal ketegangan dari AS, seperti potensi pencabutan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang selama ini mendukung ekspor Indonesia ke AS,” jelasnya.
Dalam aspek keuangan, dominasi asing di pasar obligasi Indonesia kini sudah jauh berkurang, sehingga dampaknya terhadap stabilitas ekonomi domestik tidak terlalu signifikan.
“Porsi obligasi yang dimiliki asing sekarang hanya sekitar 14 persen. Kebanyakan obligasi kita sekarang dipegang oleh Bank Indonesia dan bank umum, jadi pengaruh asing dalam pasar obligasi kita relatif kecil,” jelas Abdul.
Namun, ia juga menekankan pentingnya meningkatkan cadangan devisa sebagai langkah antisipatif.
“Negara dengan cadangan devisa yang kuat, seperti China, akan lebih stabil menghadapi fluktuasi dolar. Di Indonesia, cadangan devisa kita sekitar Rp4 triliun, tetapi peningkatan masih perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi jika dedolarisasi benar-benar diterapkan,” tutupnya.
Ambil Kesempatan Emas di BRICS
Sebelumnya, Indonesia perlu segera menentukan pilihan untuk bergabung dengan salah satu organisasi antarpemerintah dunia, yaitu BRICS atau OECD. Menurut Wijayanto, keputusan ini memiliki urgensi.
Pertama, kata Wijayanto, Indonesia dapat menyambut peluang berpartisipasi aktif dalam organisasi tersebut karena jumlah anggota yang masih sedikit. Ini berkaitan dengan hal yang kedua yakni peran dalam menentukan kebijakan utama dalam kelompok-kelompok tersebut.
“Jika (Indonesia) terlalu lama memilih, skenario terburuk bisa terjadi: Indonesia tidak tergabung dalam keduanya. Kalaupun bergabung nanti, bisa saja kita sudah terlambat dan tidak terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan,” ujar Wijayanto kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 26 Oktober 2024.
Dosen Universitas Paramadina itu menjelaskan, bergabungnya Indonesia dalam blok ekonomi yang dipimpin duet Rusia-China itu bukan berarti menjauh dari mitra lama antara lain Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Contohnya India, Uni Emirat Arab (UEA), Brasil, dan Arab Saudi yang masih bermitra tanpa menjaga jarak dengan Barat. Di sisi lain, jika Indonesia masuk OECD maka tidak membatasi gerak dengan negara-negara BRICS.
“OECD dan BRICS bukanlah blok ekonomi yang rigid (kaku). Setiap anggotanya tetap bebas menjalin kerja sama bilateral atau multilateral sesuai kebutuhan mereka,” jelas Wijayanto.
Lebih lanjut, bagi Wijayanto, Indonesia lebih tepat mengambil keputusan berdasarkan manfaat pragmatis daripada perimbangan politis. “Mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia, itulah yang semestinya dipilih,” tegasnya.
Adapun, negara-negara Barat yang mempertahankan status quo ekonomi global saat ini mendominasi komposisi OECD. Dominasi ini tampak dari peran AS lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan peredaran dolar sebagai mata uang cadangan dunia.
Sementara BRICS, ujar dia, dipandang sebagai kekuatan ekonomi baru dengan ambisi untuk menciptakan sistem yang lebih independen dari dolar AS.
“BRICS memiliki agenda ekstrem seperti dedolarisasi, yang diinisiasi oleh Rusia dan China. Ini terjadi terutama setelah aset-aset Rusia di luar negeri dibekukan oleh negara Barat pasca-konflik Ukraina. Banyak negara kini bertanya-tanya apakah aset mereka juga bisa dibekukan jika berada dalam situasi yang sama,” ungkapnya. (*)