Scroll untuk baca artikel
VideoHeadline

Video: Investasi PLTS, Keyakinan RI, Mata Uang Asia

×

Video: Investasi PLTS, Keyakinan RI, Mata Uang Asia

Sebarkan artikel ini
KBHI 20 MEI 1 jpg


KABARBURSA.COM- Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terganjal oleh kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), Menteri Perdagangan yakin RI bisa mampu mencapai USD2,45 miliar pada 2024, dan mata uang Asia mampu mengatasi kenaikan nilai dolar Amerika Serikat, menjadi fokus pemberitaan redaksi Kabar Bursa hari ini, Senin 20 Mei 2024, dalam Kabar Bursa Hari ini (KBHI).

Investasi PLTS di Indonesia Terganjal Kebijakan TKDN

Surya Darma, Ketua Indonesian Center for Renewable Energy Studies (ICRES), menyatakan bahwa kebijakan tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam sektor Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia dianggap sebagai penghalang bagi investasi dalam PLTS domestik.

“Investasi dalam pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia telah terlihat stagnan dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan sebagaimana diharapkan,” kata Surya, dikutip Senin, 20 Mei 2024.

Meskipun demikian, menurut Surya, PLTS diharapkan dapat menyumbangkan sekitar 7 gigawatt pada tahun 2025, sesuai dengan target dalam bauran energi yang diatur oleh Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Namun kenyataannya, instalasi PLTS baru mencapai sekitar 200 megawatt, yang jauh dari harapan. Permasalahan muncul karena Indonesia belum memiliki industri yang dapat mendukung pencapaian Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam PLTS.

Ia menjelaskan, saat ini di Indonesia hanya ada satu pabrikan yang mampu memproduksi modul surya berkapasitas 560 watt-peak, sedangkan mayoritas pabrikan lainnya hanya mampu memproduksi modul surya berkapasitas 450 watt-peak. Sebanyak 21 pabrikan lainnya merupakan perusahaan perakitan yang mengimpor sel surya dari luar negeri.

Akibatnya, harga modul surya buatan dalam negeri lebih mahal sekitar 30 persen-45 persen dibandingkan dengan produk impor. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5/M-IND/PER/2/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 54/M -IND/PER/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan menyebutkan bahwa nilai TKDN untuk modul surya minimal 60 persen yang berlaku sejak 1 Januari 2019.

Peraturan tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 54/M IND/PER/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, di mana nilai TKDN barang minimal untuk modul surya minimal 60 persen mulai 1 Januari 2025.

“Hal ini pada umumnya mendapat keluhan dari industri PLTS dalam negeri,” tutur Surya.

Suya bilang sebetulnya Kementerian ESDM pernah mengusulkan penurunan ketentuan TKDN modul surya untuk PLTS menjadi 40 persen untuk memberikan keleluasaan bagi investor dalam membangun fasilitas tersebut di dalam negeri.

Selain itu, masa relaksasi ketentuan TKDN untuk proyek PLTS diharapkan berlaku 3-4 tahun, sebelum batasan komponen bahan baku lokal dinaikkan secara bertahap, atau mempertahankan TKDN 40 persen untuk modul surya hingga 4 tahun ke depan.

Banyak pihak yang menyarankan agar pemerintah melakukan moratorium pemberlakuan kebijakan TKDN untuk proyek-proyek PLTS, paling tidak hingga akhir tahun 2025. Ketentuan TKDN tersebut dinilai menghambat investasi dan kepastian pembiayaan dari lembaga keuangan internasional.

“Dengan adanya moratorium diharapkan akan memberikan akses lebih luas untuk pendanaan dari lembaga internasional dan menciptakan pasar menarik bagi investasi di sisi hulu,” ungkap Surya.

Menurut Surya, hal tersebut karena lembaga keuangan internasional sulit untuk mengucurkan pendanaan pada proyek dengan kebijakan eksklusif pada produsen domestik, seperti TKDN. Karena itu, jika benar ada upaya mencabut pemberlakuan ketentuan TKDN tersebut akan merupakan kabar gembira bagi kalangan industri dan investor PLTS. Paling tidak, satu di antara penghambat peningkatan Pembangunan industri PLTS telah bisa diselesaikan.

Vietnam Balap Indonesia

Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna mengatakan penggunaan PLTS di Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yakni Vietnam. Penggunaan PLTS Indonesia hanya mencapai 0,2 persen pada 2022, sedangkan, Vietnam telah mencapai 13 persen menggunakan PLTS pada 2023. 

“Seiring dengan dunia yang berlomba-lomba mengadopsi energi terbarukan, Indonesia  ketinggalan dibandingkan Vietnam dan India,” kata Putra Adhiguna.

Padahal, kata dia, perusahaan dan investor semakin menuntut ketersediaan energi bersih untuk investasi mereka. Pasalnya kini tenaga surya jadi pemasok utama pertumbuhan listrik di seluruh dunia.

Bahkan, dibandingkan dengan batubara, tenaga surya unggul dengan mampu memberikan tambahan tenaga listrik dua kali lebih banyak.

Adapun tenaga surya mempertahankan status sebagai sumber listrik dengan pertumbuhan tercepat di dunia selama 19 tahun berturut-turut, melampaui tenaga angin, dan menjadikannya sumber listrik baru terbesar selama dua tahun berturut-turut.

“Tenaga surya menghasilkan tambahan dua kali lebih banyak dibandingkan batu bara pada 2023,” ungkap dia.

Sementara, jika mengacu pada laporan tahunan Global Electricity Review 2024 pertumbuhan tenaga surya dan angin mendorong listrik energi terbarukan dunia melampaui 30 persen untuk pertama kalinya pada 2023. Namun, sangat disayangkan pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia tak setinggi tren global, dengah hanya 20 persen listrik berasal dari energi terbarukan pada 2022.

Kendati demikian, merujuk pada renewables target tracker milik EMBER, mengatakan Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP) mengusulkan agar 44 persen pembangkitan listrik di Indonesia berasal dari energiterbarukan pada 2030.

Namun, hal ini bergantung pada mobilisasi dana JETP di tahun mendatang, untuk merealisasikan proyek-proyek yang diusulkan dalam rencana investasi dan kebijakan komprehensif (CIPP).

“Kita sedang menyaksikan perubahan di tingkat global, dan pemerintahan baru Indonesia perlu mempertimbangkan implikasi makro dan peluang transisi energi, melampaui fikasasi tradisional pada angka biaya-manfaat yang sempit dari operator jaringan listrik,” pungkas Putra.

RI Yakin Perdagangan ke Selandia Baru Capai USD2,45 Miliar

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan optimistis total target perdagangan Indonesia dan Selandia Baru mampu mencapai USD2,45 miliar pada 2024.

Hal ini disampaikan oleh Zulkifli dalam pertemuan bilateral dengan Menteri Pembangunan dan Konstruksi, Menteri Informasi Pertanahan, Menteri untuk Veteran, Wakil Menteri Pertahanan dan Wakil Menteri Imigrasi Selandia Baru Chris Penk di Peru. Ia menyebutkan target ini dapat tercapai jika kedua negara menghapuskan hambatan perdagangan dan meningkatkan kerja sama ekonomi.

“Indonesia optimistis total target perdagangan kedua negara pada 2024 sebesar NZD4 miliar atau USD2,45 miliar dapat tercapai. Ini dapat dicapai jika kedua negara meningkatkan kerja sama ekonomi,” ujar Zulkifli.

Sebelumnya, nilai total perdagangan kedua negara pada 2023 mencapai USD1,7 miliar atau turun 18,8 persen dibandingkan 2022. Menurunnya nilai perdagangan pada 2023, salah satunya disebabkan fluktuasi harga komoditas dunia.

Dalam pertemuan tersebut, Zulkifli mendorong Selandia Baru untuk menutup (closure) Kasus Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) DS 477 terkait importasi produk hortikultura, hewan, dan produk hewan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan penyesuaian peraturan sesuai dengan keputusan rekomendasi DSB WTO.

Kedua pihak juga membahas perkembangan isu regional yaitu ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Mega FTA yang sudah berlaku sejak 2 Januari 2023 di Indonesia.

Indonesia meminta Selandia Baru untuk mendukung penyelesaian rektifikasi sehingga Protocol ke-2 AANZFTA dapat segera diimplementasikan tahun ini.

“Selain itu, Selandia Baru juga mengharapkan Sekretariat RCEP dapat segera beroperasi penuh tahun ini. Kami juga meminta Selandia Baru turut berupaya agar prosedur aksesi RCEP dapat segera difinalisasi secepatnya,” ucapnya.

Lebih lanjut, Zulkifli mengatakan Indonesia juga mendorong kerja sama impor sapi hidup dengan Selandia Baru. Selandia Baru akan menindaklanjuti permintaan Indonesia untuk memenuhi ketentuan domestik Indonesia.

Total perdagangan Indonesia dan Selandia Baru pada periode Januari-Maret 2024 tercatat sebesar USD409 juta.

Pada periode ini, ekspor Indonesia ke Selandia Baru tercatat sebesar USD153,3 juta sedangkan impor Indonesia dari Selandia Baru sebesar USD255,7 miliar.

Ekspor utama Indonesia ke Selandia Baru, di antaranya bungkil (oilcake), aplikasi TV, tisu wajah dan toilet, batu bara, serta kayu. Sedangkan impor utama Indonesia dari Selandia Baru di antaranya susu
dengan gula, mentega, tepung, keju, serta kasein.

Mata Uang Asia Mampu Atasi Kenaikan Nilai Dolar AS

Kenaikan nilai dolar Amerika Serikat (AS) telah menimbulkan kekhawatiran mengenai tren mata uang di kawasan Asia. Trauma dari krisis mata uang Asia tahun 1997 masih teringat oleh banyak orang.

Hal yang sama berlaku untuk “taper tantrum” pada 2013, ketika mata uang rupiah, rupee India, dan peso Filipina semuanya melemah karena Bank Sentral AS sedang mempertimbangkan untuk mengetatkan kebijakan moneter. Meskipun telah berlalu bertahun-tahun sejak peristiwa-peristiwa yang mengkhawatirkan tersebut, depresiasi nilai tukar mata uang di Asia baru-baru ini telah menimbulkan spekulasi yang mengkhawatirkan tentang kemungkinan terjadinya hal-hal negatif, seperti devaluasi yuan China.

Dalam waktu dekat, kecemasan ini mungkin akan mengakibatkan lebih banyak volatilitas di pasar mata uang di sini. Namun, lebih dari itu, kondisi yang paling buruk diperkirakan akan segera berlalu. Alasan utamanya adalah tidak ada indikasi kuat bahwa kekuatan dolar AS saat ini akan bertahan ketika pasar keuangan mulai mengevaluasi fundamental dolar AS dengan lebih kritis. Selain itu, China tidak akan secara aktif mendepresiasi yuan mengingat kekhawatiran dari pembuat kebijakan tentang menjaga stabilitas.

Terakhir, perekonomian Asia telah meningkatkan ketahanannya dalam satu dekade ke belakang, yakni mata uang mereka didukung oleh keseimbangan eksternal yang kuat secara umum, manajemen nilai tukar dan kebijakan fiskal yang kredibel, serta cadangan devisa yang solid. Ini perlu didukung lebih lanjut oleh meningkatnya permintaan global seiring dengan pemulihan berkelanjutan dalam siklus elektronik dan pariwisata.

Alasan utama melemahnya mata uang Asia adalah menguatnya dolar AS. Namun beberapa faktor yang mendorong lonjakan dolar AS kemungkinan besar tidak akan bertahan lama.

Ambil contoh kinerjanya yang lebih baik dibandingkan negara-negara besar lainnya dalam hal pertumbuhan ekonomi. Ada bukti kuat bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan melambat pada paruh kedua tahun ini karena dampak kenaikan suku bunga dan beberapa dukungan yang dinikmati perekonomian melemah.

Belanja konsumen, misalnya, bisa melemah. Laporan penggajian bulan April menunjukkan penciptaan lapangan kerja yang lebih lambat sementara data lain menunjukkan rasio lowongan pekerjaan terhadap jumlah pengangguran menurun, yang berarti pertumbuhan pendapatan dapat melambat. Selain itu, tabungan dalam jumlah besar yang dibangun konsumen selama pandemi sebagian besar akan habis pada paruh kedua tahun ini.

Risiko lainnya adalah dampak tertunda dari pengetatan moneter yang brutal dalam dua tahun terakhir. Risiko terhadap belanja konsumen berasal dari tanda-tanda tekanan kredit yang muncul dalam perekonomian AS, khususnya di kalangan peminjam berpendapatan rendah yang kesulitan memenuhi kewajiban pinjaman mereka.

Ketika tingkat tunggakan konsumen meningkat, semakin banyak pula laporan mengenai individu yang mengalami berkurangnya tabungan di tengah kenaikan harga dan suku bunga yang terus-menerus tinggi. Sektor real estat komersial juga terus menunjukkan tanda-tanda tekanan.

Dolar AS juga didukung oleh meningkatnya risiko geopolitik yang meningkatkan aliran safe-haven ke dalam mata uang AS. Pada pandangan pertama, dengan situasi di Ukraina dan Timur Tengah yang terus memburuk, investor sepertinya tidak mengharapkan dunia yang lebih aman untuk saat ini sehingga greenback akan terus menikmati arus masuk. Namun seiring memanasnya kampanye pemilihan presiden AS, pasar mungkin mulai lebih fokus pada implikasi kembalinya mantan presiden Donald Trump ke jabatannya.

Agendanya berupa pembatasan perdagangan yang sangat agresif, tindakan pembatasan yang keras terhadap China, dan sikap yang kurang setuju terhadap sekutu lamanya akan membuat khawatir investor di seluruh dunia. Kampanye ini juga kemungkinan akan memanas dan buruk, yang selanjutnya mempengaruhi persepsi risiko pasar di AS dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Di luar isu-isu mendesak ini, ada pertanyaan yang lebih mendasar mengenai dolar AS, dan hal ini berkaitan dengan posisi fiskal AS. Dana Moneter Internasional (IMF), di antara lembaga-lembaga lainnya, telah mengeluarkan peringatan mengenai besarnya defisit fiskal AS yang diproyeksikan mencapai 7,1 persen PDB pada tahun 2025.

Angka tersebut lebih dari tiga kali lipat rata-rata 2 persen di negara-negara maju lainnya dan belum pernah terjadi sebelumnya di AS. di masa damai dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Elit politik Amerika terpecah dan memilih untuk menghindari pembahasan solusi terhadap tantangan fiskal. Tidak akan terkejut jika posisi fiskal AS dan tingkat utang publiknya yang besar menjadi fokus utama di pasar keuangan seiring dengan berjalannya tahun ini.

Fundamental Kuat Mata Uang Asia

Dapat dikatakan bahwa para pembuat kebijakan di Asia telah berhasil mengelola volatilitas pasar mata uang saat ini dengan baik. Bank-bank sentral dengan cepat menunjukkan kepada investor bahwa mereka akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi nilai mata uang mereka, itulah mengapa keputusan kebijakan terbaru cenderung bersifat hawkish.

Sebagai contoh, Bank Indonesia mengejutkan pasar dengan menaikkan suku bunga, yang secara eksplisit dikaitkan dengan tekadnya untuk menjaga stabilitas nilai rupiah. Bank of Thailand juga menolak secara halus tekanan dari pemerintah untuk menurunkan suku bunga, dan menjelaskan dengan jelas alasan di balik keputusannya tersebut. Bank sentral lainnya juga memberi isyarat kepada investor agar tidak mengharapkan penurunan suku bunga secara prematur.

Konsistensi dalam menjalankan kebijakan moneter yang ketat ini menunjukkan komitmen para pembuat kebijakan di Asia untuk menjaga stabilitas harga dan mengendalikan inflasi, sehingga memperkuat kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi kawasan.

Hal ini juga membantu menjaga kuatnya berbagai ukuran ketahanan eksternal –sebuah perbedaan besar dibandingkan tahun 1997 dan 2013. Cadangan devisa telah membaik di sebagian besar perekonomian. Rasio cadangan terhadap utang juga tetap stabil di seluruh perekonomian utama di kawasan ini, sehingga memberikan perlindungan terhadap kerentanan eksternal. Hal ini meyakinkan investor mengenai stabilitas dan ketahanan perekonomian.

Terakhir, ukuran kekuatan eksternal yang paling penting –yaitu neraca transaksi berjalan suatu negara– telah membaik di sebagian besar perekonomian. Investor akan memiliki lebih banyak alasan untuk mengharapkan posisi eksternal yang kuat seiring dengan pemulihan hasil perdagangan dan peningkatan penerimaan pariwisata.

Secara keseluruhan, kinerja perekonomian Asia kemungkinan akan memuaskan pasar keuangan. Selain ekspor dan pariwisata, kawasan ini juga siap menikmati peningkatan belanja infrastruktur yang dilakukan pemerintah dan juga investasi asing. Meskipun masih ada tanda tanya mengenai perekonomian China, hasil yang paling mungkin terjadi adalah pemulihan momentum perekonomian China. Jelas juga bahwa para pembuat kebijakan di China sedang meningkatkan langkah-langkah untuk memastikan bahwa target pertumbuhan ambisius sebesar 5 persen untuk tahun ini terpenuhi.

Memang benar, survei Indeks Manajer Pembelian (PMI) terbaru menunjukkan bahwa segala sesuatunya mulai membaik setelah perlambatan yang disebabkan oleh perdagangan pada tahun 2023. Beberapa lembaga internasional, yang terbaru adalah IMF, telah menegaskan pandangan bahwa perekonomian Asia siap untuk mengalami perbaikan. pertumbuhan pada tahun 2024 didukung oleh kekuatan yang mendukung konsumsi domestik dan eksternal, serta peningkatan belanja modal.

India dan Asia Tenggara tidak sering diberikan penghargaan atas kemajuan besar dalam memperkuat ketahanan ekonomi mereka dalam beberapa tahun terakhir, hal ini akan membantu mendukung nilai mata uang mereka. Dalam lingkungan yang penuh risiko, ini sangat penting.

Meskipun setiap perekonomian akan mengalami guncangan dari waktu ke waktu sebagai bagian dari perekonomian global, pertanyaannya adalah apakah suatu negara mampu menyerap guncangan tersebut dan pulih. Peningkatan signifikan dalam ketahanan di kawasan ini tampaknya terutama dalam cara mereka menghadapi tantangan seperti pengetatan moneter yang sangat ketat dalam beberapa dekade terakhir, rangkaian guncangan geopolitik, lonjakan proteksionisme perdagangan, dan perlambatan ekonomi China.

Salah satu sumber ketahanan yang paling penting bagi negara-negara ini dan mata uangnya adalah meningkatnya kredibilitas pembuatan kebijakan. Dibandingkan dengan satu dekade yang lalu, pasar keuangan kini lebih nyaman dengan cara bank sentral di kawasan ini menjalankan kebijakan moneternya dan bagaimana mereka mempertahankan independensinya bahkan ketika berada di bawah tekanan politik. Para menteri keuangan juga telah menunjukkan tekad untuk mengendalikan defisit fiskal, bahkan dengan mengorbankan perekonomian yang lebih lambat.

Intinya, dolar AS mungkin akan naik lebih lanjut dalam beberapa minggu mendatang dan memberikan tekanan lebih besar pada mata uang Asia. Namun di luar risiko jangka pendek tersebut, terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa Asia akan pulih kembali.