Logo

Nikel Jadi Masa Depan Fiskal RI, tapi Butuh PLTA, Bukan PLTU

Nikel jadi andalan baru fiskal Indonesia. Cadangan besar, royalti naik, tapi masa depan hijau butuh PLTA, bukan smelter berbasis batu bara.

Terbit 18 Jun 2025 • Jurnalis Rio Alpin Pulungan

Nikel Jadi Masa Depan Fiskal RI, tapi Butuh PLTA, Bukan PLTU

KABARBURSA.COM – Indonesia sudah bersiap meninggalkan batu bara. Tapi bukan berarti sumber cuan negara ikut menghilang. Dalam transisi menuju ekonomi hijau, nikel menjelma jadi primadona baru. Indonesia kini menguasai 42 persen cadangan nikel global dan menyumbang 51 persen produksi dunia (USGS 2023). Permintaan nikel ikut terdongkrak oleh naiknya kebutuhan baterai kendaraan listrik. Di saat yang sama, pemerintah menaikkan tarif royalti hingga 100 persen untuk beberapa produk olahan seperti feronikel dan nickel matte. Secara fiskal, inilah tambang emas masa depan.

Tapi masa depan tak bisa dibangun dengan cara lama. Mayoritas smelter nikel di Indonesia masih menggantungkan operasinya pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap alias PLTU batu bara. Dampaknya, jejak karbon produksi nikel ikut tinggi dan membuat label hijau di pasar global dipertanyakan. Padahal, kalau memakai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) seperti yang dilakukan PT Vale Indonesia Tbk, emisi bisa ditekan hingga separuhnya. Di sinilah pertanyaannya, bisakah nikel menggantikan batu bara sebagai tulang punggung fiskal Indonesia, tanpa mengulang kesalahan energi kotor di masa lalu?

Ingin Akses Lengkap Analisa Ini?

Anda sedang membaca bagian pembuka dari laporan analisis eksklusif. Untuk mendapatkan insight penuh, termasuk data penting dan proyeksi pasar. Ayo, segera upgrade ke Investor Pro sekarang juga.

Buka Akses Premium

Termasuk majalah bulanan, webinar eksklusif, dan forum diskusi bersama analis.