Logo
>

POJK Baru Atur Konglomerasi Keuangan, Apa Kata Pengamat?

Ditulis oleh Syahrianto
POJK Baru Atur Konglomerasi Keuangan, Apa Kata Pengamat?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang merumuskan proposal terbaru mengenai peraturan konglomerasi di sektor keuangan. Langkah ini bertujuan memperbarui Peraturan OJK (POJK) yang ada, khususnya POJK Nomor 45 Tahun 2020, sekaligus menjalankan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

    Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menyatakan bahwa dalam peraturan terbaru tersebut, ada kriteria tambahan yang menentukan sebuah kelompok sebagai konglomerasi keuangan. Sebelumnya, hanya kelompok dengan total aset lembaga jasa keuangan (LJK) di atas Rp100 triliun yang masuk kriteria Konglomerasi Keuangan.

    Salah satu poin baru dalam rancangan POJK tersebut adalah tentang batasan kriteria kelompok perusahaan yang masuk ke dalam kategori konglomerasi keuangan. Kriteria tersebut adalah total aset LJK di rentang antara Rp20 triliun hingga Rp100 triliun dan minimal tiga LJK di tiga sektor yang berbeda.

    "Dengan pengaturan baru tersebut, jumlah kelompok konglomerasi yang diawasi oleh OJK akan bertambah banyak," ujar Dian.

    Dian juga menambahkan bahwa perubahan lainnya adalah memperluas cakupan anggota Konglomerasi Keuangan dari ketentuan sebelumnya, yang meliputi perbankan, perusahaan efek, perusahaan pembiayaan, dan asuransi.

    Dalam kebijakan baru yang akan datang, cakupan Konglomerasi Keuangan akan mencakup bank, perusahaan asuransi dan reasuransi, perusahaan efek, perusahaan pembiayaan, perusahaan penjaminan, dana pensiun, perusahaan modal ventura, pergadaian, layanan pendanaan berbasis teknologi informasi, layanan penghimpunan dana, inovasi keuangan digital, serta LJK lainnya dan entitas non-LJK yang ditetapkan oleh OJK.

    Selanjutnya, poin-poin dalam aturan baru tersebut juga akan mengatur pembentukan Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK). PIKK, atau yang dikenal sebagai Financial Holding Company, adalah entitas hukum yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali untuk mengawasi, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab atas semua kegiatan Konglomerasi Keuangan tersebut.

    Dian berharap bahwa dengan ketentuan-ketentuan tersebut, OJK dapat melakukan pengawasan yang efektif dan menyeluruh terhadap konglomerasi keuangan, termasuk dalam memitigasi risiko transaksi antar grup dan risiko konsentrasi, sehingga dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan dan melindungi kepentingan masyarakat.

    Di sisi lain, Dian juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan perubahan terkait publikasi mengenai anggota Konglomerasi Keuangan. Tujuannya adalah untuk tidak memengaruhi persepsi masyarakat terhadap bank-bank tersebut. "Konglomerasi itu dapat berubah-ubah, yang dapat mengganggu bank yang telah diterbitkan serta dapat memberikan keuntungan bagi yang masuk, yang mana hal ini dapat mengganggu persaingan yang adil," katanya.

    Pengawasan OJK Mengetat

    Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (Celios), setuju bahwa revisi terhadap batasan konglomerasi akan menghasilkan peningkatan jumlah konglomerasi keuangan di Indonesia.

    “Semakin banyak entitas yang termasuk dalam konglomerasi keuangan akan membuat pengawasan dari OJK menjadi lebih ketat,” ujarnya, seperti yang dilaporkan pada Senin, 13 Mei 2024.

    Huda meyakini bahwa perubahan ini akan membawa dampak positif dalam mitigasi risiko yang terkait dengan potensi dampak sistemik. Dalam kriteria sebelumnya, banyak entitas bisnis keuangan yang tidak termasuk dalam satu konglomerasi, yang dapat menghadirkan risiko sistemik jika mengalami goncangan.

    Selain itu, menurut Huda, persaingan usaha juga akan menjadi lebih efisien dengan adanya regulasi baru ini. Ini karena konsolidasi entitas akan menjadi lebih sulit jika semakin banyak konglomerasi keuangan yang ada di Indonesia.

    Budi Frensidy, seorang pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, setuju bahwa proposal aturan baru yang diajukan oleh OJK menunjukkan keinginan untuk meningkatkan fungsi pengawasannya. Dia menyatakan ini karena ada kemungkinan bahwa banyak perusahaan dengan nilai kapitalisasi di bawah Rp100 triliun dapat memiliki dampak besar terhadap pasar dan masyarakat.

    Frensidy berharap bahwa penerapan kebijakan baru ini akan mengurangi risiko yang muncul akibat tindakan, kebijakan, atau kesalahan manajemen dari suatu perusahaan terhadap pasar. Menurutnya, ini karena upaya pencegahan dan mitigasi telah dilakukan sebelumnya.

    “Diperkirakan bahwa perusahaan dengan aset antara Rp20 triliun hingga Rp100 triliun akan lebih banyak daripada yang memiliki aset di atas Rp100 triliun, seperti Saratoga, Manulife, Schroders, BNP Paribas, yang mungkin akan memenuhi kriteria baru ini,” katanya.

    Selain itu, Amin Nurdin, Senior Faculty dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), mengusulkan penambahan poin-poin dalam aturan yang juga mengatur konglomerasi keuangan di mana mayoritas saham perusahaan induknya dimiliki oleh investor asing.

    Contohnya adalah PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN), di mana mayoritas sahamnya dimiliki oleh MUFG Bank sebanyak 92,47 persen dari total saham. Menurut Amin, perlu ada aturan tambahan yang lebih ketat bagi konglomerasi semacam itu.

    “Ia menyarankan adanya aturan tambahan, seperti peraturan tentang kepemilikan saham, pengurus, tata kelola, dan aspek lainnya,” kata Amin.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.