Logo
>

Ekonomi Rusia di Ambang Resesi

Menteri Ekonomi Rusia mengakui ekonomi negaranya di ambang resesi akibat inflasi tinggi, defisit fiskal, dan tekanan pascaperang Ukraina.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Ekonomi Rusia di Ambang Resesi
Ilustrasi: Di tengah perang dan sanksi global, ekonomi Rusia mulai goyah. Menteri Ekonomi mengakui risiko resesi terbuka lebar jika kebijakan tak berubah. Foto: The Hill.

KABARBURSA.COM – Untuk pertama kalinya sejak invasi ke Ukraina, pemerintah Rusia mengakui ekonomi negaranya berada di titik rawan. Menteri Ekonomi Maxim Reshetnikov menyebut Rusia “di ambang resesi”. Peringatan itu ia sampaikan langsung dalam forum ekonomi internasional di St. Petersburg, Kamis pekan ini.

Forum yang selama ini didesain sebagai panggung promosi kekuatan ekonomi Rusia di hadapan investor asing justru menjadi panggung pengakuan jujur. “Angka-angka memang menunjukkan perlambatan. Tapi semua angka itu seperti kaca spion,” ujar Reshetnikov, dikutip dari AP di Jakarta, Jumat, 20 Juni 2025. “Berdasarkan suasana pelaku usaha dan indikator saat ini, saya rasa kita sudah di tepi jurang resesi.”

Pengakuan ini datang di tengah narasi resmi Kremlin yang selama dua tahun terakhir mengklaim ekonomi Rusia tetap tangguh di bawah sanksi. Sejak pasukan Moskow masuk Ukraina Februari 2022, pertumbuhan Rusia ditopang belanja militer yang agresif. Angka pengangguran rendah. Gaji naik menyesuaikan inflasi. Di atas kertas, ekonomi tampak stabil, tapi dengan ongkos tinggi.

Bonus besar untuk tentara baru dan santunan kematian bagi korban perang membuat arus uang mengalir deras ke daerah miskin Rusia. Tapi efek jangka panjangnya menimbulkan pertanyaan besar, sampai kapan ekonomi yang dimiliterisasi ini bisa bertahan?

Sejumlah ekonom memperingatkan tekanan makin menguat. Investasi asing terus menguap. Sektor nonmiliter mandek. Tanpa diversifikasi ekonomi, Rusia rawan stagnasi. “Keputusan ke depan akan menentukan arah kita,” kata Reshetnikov.

Meski begitu, suara pemerintah tidak tunggal. Menteri Keuangan Anton Siluanov berupaya menenangkan pasar. Menurutnya, ekonomi Rusia memang “mendingin”, tapi itu bagian dari siklus. “Setelah musim dingin, selalu ada musim panas,” ujarnya.

Gubernur Bank Sentral Elvira Nabiullina juga punya nada lebih optimistis. Ia menilai ekonomi Rusia hanya sedang “keluar dari fase kepanasan”—bukan menuju krisis. Namun, bagi banyak pengamat, pengakuan Reshetnikov bukan sinyal biasa. Ini pertanda bahwa bahkan elite ekonomi Rusia kini mulai mempertanyakan daya tahan ekonomi yang bertumpu pada senjata, bukan investasi produktif.

Jajaki Kerja Sama Nuklir dengan Indonesia

Di saat Menteri Ekonominya mengakui bahwa Rusia berada di ambang resesi, Kremlin justru memperluas manuver geopolitiknya. Salah satu langkah teranyar adalah menjajaki kerja sama nuklir sipil dengan Indonesia. Tawaran ini disampaikan langsung saat Presiden Prabowo Subianto bertemu Vladimir Putin di St. Petersburg, kemarin.

Proyek yang dibicarakan bukan kerja sama kecil. Rusia, lewat Rosatom, perusahaan nuklir milik negara, menawarkan dukungan teknologi, pelatihan sumber daya manusia, dan yang paling krusial—skema pembiayaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama Indonesia.

Secara historis, Rusia bukan pemain baru dalam ekspansi nuklir sipil ke negara berkembang. Dalam dua dekade terakhir, Moskow membiayai dan membangun reaktor di Mesir, Bangladesh, dan Turki. Skema yang digunakan pun relatif seragam, pemerintah Rusia melalui bank pembangunan VEB menyediakan pinjaman hingga 85 persen dari total nilai proyek, sementara negara penerima bertanggung jawab atas sisa pembiayaan, biasanya melalui dana ekuitas atau jaminan negara.

Rosatom, sebagai ujung tombak diplomasi energi Rusia, kerap menggunakan pendekatan build–own–operate. Di Mesir, proyek El Dabaa senilai USD28,8 miliar (sekitar Rp472 triliun) dibiayai Rusia lewat pinjaman jangka panjang dengan bunga ringan. Di Bangladesh, reaktor Rooppur senilai USD11,38 miliar pun dibangun dengan pola serupa.

Tawaran ke Indonesia pun diyakini tak jauh berbeda.

Tapi waktu tawaran ini datang bukan tanpa ironi. Menteri ekonominya menyampaikan sinyal resesi. Inflasi tinggi, defisit fiskal membengkak, dan pertumbuhan yang mulai melambat jadi konteks baru bagi ekspansi luar negeri Moskow. Sejumlah ekonom mencatat belanja besar-besaran untuk perang di Ukraina memang menopang pertumbuhan Rusia dalam dua tahun terakhir—tapi dengan biaya fiskal yang makin berat.

Sementara itu, cadangan devisa Rusia—yang sebagian digunakan untuk mendukung proyek strategis seperti nuklir—ikut terkuras akibat sanksi internasional. National Wealth Fund (NWF) Rusia, yang biasa menjadi tumpuan pendanaan proyek global, kini tersisa dalam jumlah terbatas. Situasi ini menimbulkan tanda tanya, sejauh mana Rusia bisa konsisten mendanai proyek jangka panjang di luar negeri?

Dari sisi Indonesia, tawaran ini datang sejalan dengan agenda transisi energi bersih. Pemerintah sejak lama mengkaji pemanfaatan energi nuklir sebagai solusi atas krisis energi fosil, serta sebagai sumber daya alternatif yang stabil dan rendah emisi. Target pembangunan PLTN pun telah ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional, dengan proyeksi operasi mulai 2032.

Namun pertimbangan politik anggaran, ketergantungan pada pihak luar, serta risiko geopolitik menjadi faktor kunci dalam menentukan kelanjutan proyek ini. Meski teknologi Rusia terbukti berhasil di beberapa negara, kondisi ekonomi dan tekanan global terhadap Moskow membuat tawaran ini tak sesederhana hitung-hitungan kilowatt.

Kerja sama nuklir, pada akhirnya, bukan cuma soal reaktor dan listrik. Ia melibatkan diplomasi strategis, alih teknologi, keamanan energi, dan komitmen lintas rezim. Dan bagi Indonesia, menjalin kemitraan dengan negara yang sedang menghadapi tekanan global bukan tanpa konsekuensi.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).