Logo
>

Isu Raja Ampat Efek ke Saham ANTM: Ada Risiko ESG

konflik antara pelestarian lingkungan dan kegiatan pertambangan di wilayah berisiko tinggi

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Isu Raja Ampat Efek ke Saham ANTM: Ada Risiko ESG
Eksplorasi PT Gag di Raja Ampat

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Isu lingkungan yang mencuat di Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gag Nikel dinilai berdampak lebih luas terhadap persepsi pasar terhadap sektor pertambangan nikel secara keseluruhan.

    Hal ini disampaikan analis pasar modal dari Taderindo Wahyu Laksono, yang menilai bahwa konflik antara pelestarian lingkungan dan kegiatan pertambangan di wilayah berisiko tinggi seperti Raja Ampat memiliki potensi menimbulkan tekanan terhadap saham-saham nikel di Bursa Efek Indonesia.

    “Raja Ampat dikenal sebagai destinasi wisata bahari kelas dunia dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Ketika isu lingkungan muncul di wilayah seperti ini, perhatian publik dan media akan sangat besar. Meskipun masalahnya spesifik pada satu perusahaan, sentimennya bisa meluas ke seluruh sektor,” ujar Wahyu dikutip Selasa, 17 Juni 2025.

    Menurutnya, terdapat beberapa dampak utama dari isu ini terhadap sektor tambang nikel, antara lain meningkatnya risiko reputasi perusahaan tambang, potensi tekanan regulasi yang lebih ketat, serta kemungkinan menyempitnya akses pendanaan, khususnya dari lembaga keuangan yang berkomitmen pada prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).

    “Investor akan semakin mempertimbangkan rekam jejak lingkungan perusahaan. Bahkan jika tidak ada pelanggaran hukum, praktik yang dianggap tidak ramah lingkungan bisa mengurangi kepercayaan investor,” jelas Wahyu.

    Ia juga menambahkan bahwa tekanan regulasi bisa memunculkan biaya tambahan dan memperlambat proses perizinan tambang ke depan.

    Lebih lanjut, Wahyu menyebutkan bahwa sentimen negatif ini kemungkinan mulai tercermin dalam pergerakan saham emiten nikel di pasar.

    “Investor cenderung cepat bereaksi terhadap berita seperti ini. Namun perlu diingat, harga saham dipengaruhi banyak faktor: mulai dari kondisi makroekonomi, harga nikel global, sampai laporan kinerja perusahaan,” ujar dia.

    Terkait respons pelaku pasar, Wahyu menilai bahwa investor institusi dan ritel menunjukkan pendekatan yang berbeda.

    “Investor institusi umumnya lebih rasional dan berbasis analisis fundamental. Mereka akan mengevaluasi risiko ESG dalam portofolio mereka," katanya.

    Ia mengatakan jik risikonya meningkat, bisa terjadi aksi jual atau penundaan akumulasi. Namun bagi sebagian institusi, ini juga bisa jadi momen beli jika mereka percaya isu ini tidak berdampak fundamental dalam jangka panjang.

    Sementara itu, investor ritel dinilai lebih reaktif terhadap perkembangan berita. “Kita bisa melihat gejala panic selling dari ritel. Namun di sisi lain, ada juga spekulan yang mencoba memanfaatkan fluktuasi harga untuk meraih keuntungan jangka pendek,” ujar dia Wahyu.

    Menilik data perdagangan terakhir saham PT Aneka Tambang atau ANTM berada di harga Rp3.300 per lembarnya, sementara PT PAM Mineral Tbk atau NICL berada di Rp1.320 per lembar pada Jumat, 13 Juni 2025

    Wahyu juga menyoroti penurunan harga saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), yang dinilai bukan semata karena sentimen lingkungan. Penurunan harga saham ANTM kemungkinan besar merupakan kombinasi dari beberapa faktor. Sentimen lingkungan jelas berperan karena ANTM adalah salah satu pemain besar di sektor ini, sehingga otomatis menjadi sorotan saat ada isu terkait nikel.

    Namun, ia menambahkan bahwa faktor teknikal juga bisa memengaruhi, seperti koreksi harga setelah reli sebelumnya atau karena ditembusnya level support tertentu. “

    Fundamental lain seperti harga nikel global, prospek produksi dan penjualan, serta progres proyek hilirisasi juga turut menentukan,” katanya.

    Sebaliknya, saham PT Pam Mineral Tbk (NICL) justru mencatatkan kenaikan di tengah isu ini. Wahyu menilai kontras tersebut bisa disebabkan oleh persepsi pasar terhadap risiko lingkungan yang lebih rendah, skala bisnis yang berbeda, serta adanya spekulasi jangka pendek.

    “NICL mungkin dianggap memiliki lokasi tambang yang lebih aman dari sisi lingkungan. Atau investor melihat ada prospek pertumbuhan spesifik seperti proyek baru atau ekspansi kapasitas,” jelas Wahyu.

    Menurutnya, saham dengan kapitalisasi kecil seperti NICL juga cenderung lebih volatil dan lebih mudah dipengaruhi oleh sentimen atau rumor pasar. Ia tidak menutup kemungkinan adanya akumulasi oleh investor institusi tertentu terhadap NICL.

    “Yang jelas, pergerakan satu-dua hari atau sepekan yang tidak eksesif masih bisa dikategorikan sebagai fluktuasi biasa. Nilai sejati emiten lebih terlihat dalam pergerakan jangka menengah dan panjang,” ujarnya Wahyu.

    Dengan meningkatnya kesadaran terhadap isu ESG dan sensitivitas publik terhadap dampak lingkungan, pasar diperkirakan akan semakin selektif dalam menilai emiten tambang, terutama yang beroperasi di wilayah-wilayah yang memiliki nilai konservasi tinggi.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".