Logo
>

Per Mei 2024 Penerimaan Bea dan Cukai Kepri Rp31,12 Miliar

Ditulis oleh KabarBursa.com
Per Mei 2024 Penerimaan Bea dan Cukai Kepri Rp31,12 Miliar

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kantor Wilayah Bea Cukai Khusus Kepulauan Riau (Kepri) melaporkan realisasi penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai mencapai Rp31,12 miliar hingga Mei 2024, melampaui target tahunan yang ditetapkan sebesar Rp15,13 miliar.

    Pencapaian ini setara dengan 205,68 persen dari total target sepanjang tahun.

    Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Kepri, Priyono Triatmojo, menyatakan bahwa jumlah tersebut terdiri dari penerimaan bea masuk sebesar Rp30,34 miliar dan cukai sebesar Rp781,58 miliar.

    “Sampai dengan Mei 2024 ini, Alhamdulillah targetnya sudah terpenuhi. Tahun ini ada sekitar Rp15 miliar targetnya. Sampai dengan Mei ini sudah terlampaui,” kata Priyono, Kamis, 27 Juni 2024.

    Selain pemungutan bea masuk, bea keluar, dan cukai, Bea Cukai Kepri juga mengumpulkan penerimaan pajak dalam rangka impor (PDRI) yang mencapai Rp852,74 miliar hingga Mei 2024. Priyono menambahkan, “Ini menjadi persepsi teman-teman yang ada di Direktorat Jenderal Pajak.

    Priyono menjelaskan bahwa pencapaian target penerimaan tahunan ini dipengaruhi oleh impor fasilitas dari Bea Cukai Tanjungpinang yang menyumbang bea masuk dari Pusat Logistik Berikat (PLB) dengan komoditas seperti Pertamax, Solar, dan gas Propane Butane.

    Ia menekankan bahwa sebagian besar penerimaan negara di Kanwil Kepulauan Riau berasal dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tanjungpinang, menyumbang sekitar 90 persen dari total penerimaan.

    Lebih lanjut, Priyono menjelaskan bahwa penerimaan negara dari pemungutan bea dan cukai di Kepulauan Riau tidak signifikan dibandingkan dengan penerimaan nasional. Hal ini disebabkan karena Bea Cukai Kanwil Kepulauan Riau lebih fokus pada fungsi pengawasan dan penindakan, mengingat posisinya yang berbatasan langsung dengan Singapura.

    “Jadi kalau kanwil khusus BC Kepri itu pekerjaannya lebih kepada penegakan hukum, khususnya melalui patroli-patroli laut,” ungkapnya.

    “Core bisnisnya kami agak berbeda, core bisnisnya melalui penegakan hukum, melalui patroli laut, sehingga targetnya tidak terlalu besar,” sambungnya.

    Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa realisasi penerimaan negara menurun hingga pengujung Mei 2024.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa penurunan ini disebabkan oleh “normalisasi” harga komoditas unggulan Indonesia yang pada tahun 2022 dan 2023 mengalami kenaikan signifikan. Imbas normalisasi ini dirasakan oleh penerimaan dari pajak hingga PNBP.

    Contohnya, setoran dari kepabeanan dan cukai mencapai Rp109,1 triliun, turun 7,8 persen dari Rp118,4 triliun pada Mei tahun lalu. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penerimaan cukai yang turun signifikan, yakni 12,6 persen menjadi Rp81,1 triliun.

    Sri Mulyani menambahkan bahwa penurunan setoran cukai dipengaruhi oleh turunnya cukai hasil tembakau.

    “Kami akan melakukan pengawasan dan penindakan terutama untuk rokok ilegal,” tegasnya.

    Kinerja Bea Cukai Buruk, Bisnis Tekstil Tiarap

    Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai, banyaknya perusahaan tekstil yang melalukan penutupan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) disebabkan oleh buruk kinerja Direktorat Jendral Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai) Kementerian Keuangan (Kemenkue).

    Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta menuturkan, buruknya kinerja Dirjen Bea Cukai terlihat dari data trade map, di mana gap impor yang tidak tercatat dari China terus meningkat mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2021 sebesar USD2,7 miliar, tumbuh menjadi USD2,9 miliar di tahun 2022, dan diperkirakan mencapai USD4 miliar ditahun 2023.

    Adapun hal itu ia ungkap menyusul pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani yang menyebut penyebab PHK adalah praktik dumping di luar negeri. Redma menilai, pernyataan Sri Mulyani merupakan pengalihan isu untuk menutupi kegagalan Kemenkeu dalam membersihkan Ditjen Bea Cukai.

    “Kita bisa liat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau dipelabuhan” kata Redma dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 20 Juni 2024.

    Menurut Redma, penumpukan kontainer impor di pelabuhan yang terjadi saat ini tak terlepas dari peran oknum Bea Cukai dan para mafia impor. Ditambah dengan terbitnya regulasi relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

    “Dan disini malah terkesan Bu Sri membela Bea Cukai dan menyalahkan Kementerian lain yang mengeluarkan aturan pengendalian impor, padahal ini adalah perintah Presiden tanggal 6 Oktober 2023” tegasnya.

    Redma menekankan, mafia impor yang melibatkan para oknum di Bea Cukai telah merambah ke berbagai level, dari pejabat pusat melalui kebijakannya hingga pejabat daerah dan para petugas dilapangan sebagai eksekutornya. “Makanya segala upaya usulan perbaikan sistim ditolak mentah-mentah” tegasnya.

    Di sisi lain, Redma juga menilai sistem pemeriksaan yang digunakan Ditjen Bea Cukai terlampau jauh tertinggal jika dibandingkan Thailand, Malaysia dan Singapura yang telah menerapkan sistem IT dan AI Scanner.

    Kendati begitu, Redma menyebut pernyataan Sri Mulyani tidak sepenuhnya keliru, lantaran pihaknya juga mengakui adanya praktik dumping yang dilakukan oleh China karena kondisi negaranya oversupply.

    Akan tetapi, Redma mengaku heran, mengingat pemerintah telah mengetahui adanya potensi dumping, tetapi perpanjangan safeguard tekstil yang telah direkomendasikan Menteri Perdagangan tidak kunjung menemukan titik terang sejak satu tahun terakhir.

    “Tapi kita tunggu apa yang akan dilakukan Bu Sri dalam menghadapi badai PHK disektor ini, karena dalam dua tahun terakhir sudah tiga surat dilayangkan API dan APSyFI untuk bertemu Menkeu dan DirJen Bea Cukai, sama sekali tidak ada respon” pungkasnya.

    Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman menyebut, banjir impor dalam 2 tahun terakhir sangat keterlaluan hingga 60 persen anggotanya yang merupakan industri kecil menengah sudah tidak lagi beroperasi, sedangkan sisanya hanya jalan dibawah 50 persen.

    “Pasar dalam negeri kita baik offline maupun online disikat semua oleh produk impor yang harganya tidak masuk akal” ungkap Nandi.

    Ia meyakini, barang impor tersebut masuk dengan cara illegal mengingat harganya yang dipatok terlampau murah, bahkan dijual dibawah harga bahan bakunya. “Kalau impor garmen resmi kan ada PPN, bea masuk plus bea safeguard-nya, jadi tidak mungkin per potongnya dijual di bawah harga Rp50.000,-“ jelasnya.

    Dengan harga yang sangat murah ini, lata Nandi, para pengusaha IKM maupun perusahaan besar tidak akan bertahan menghadapi persaingan dengan produk-produk impor. Untuk itu, dia mengaku tidak heran banyak perusahaan kecil maupun besar malaukan PHK dan penutupan pabrik.

    Lebih jauh, Nandi juga berharap para pengusaha IKM tekstil mendapat ruang yang lebih besar di pasar domestik. Sebab, kata dia, daya beli di Indonesia masih besar ditambah inflasi yang masih relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya.

    “Saya yakin kalau pasar domestiknya dijaga, setidaknya 70 persen pasarnya dikuasai pasar lokal, maka IKM Indonesia akan maju,” tutupnya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi