Logo
>

Rupiah Diprediksi Lanjut Lemah Terbatas Rabu 3 September 2024

Ditulis oleh KabarBursa.com
Rupiah Diprediksi Lanjut Lemah Terbatas Rabu 3 September 2024

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Rupiah kembali terperosok pada penutupan perdagangan Selasa 3 September 2024 kemarin, menandai lima hari berturut-turut mata uang Garuda terdepresiasi. Sejumlah pengamat memprediksi tren pelemahan ini masih akan berlanjut pada Rabu esok.

    Sebuah riset menunjukkan, rupiah spo persen ditutup di level Rp 15.526 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa 3 September 2024 melemah tipis 0,006 persen dibandingkan sehari sebelumnya yang berada di Rp 15.525 per dolar AS.

    Sejalan dengan itu, rupiah Jisdor versi Bank Indonesia (BI) juga turun ke level Rp 15.557 per dolar AS pada Selasa 3 September 2024 melemah 0,14 persen dari hari sebelumnya yang tercatat di Rp 15.536 per dolar AS.

    Ketidakmampuan rupiah untuk bergerak dipengaruhi oleh dua kabar buruk dari dalam negeri, yakni deflasi yang terus-menerus selama empat bulan berturut-turut dan kontraksi yang dialami industri manufaktur.

    Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) justru mencatat kenaikan tipis sebesar 0,02 persen ke level 101,67.

    Pergerakan rupiah yang stagnan ini disebabkan oleh sejumlah faktor domestik dan eksternal yang rumit. Di dalam negeri, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta pelemahan sektor manufaktur menjadi pendorong utama pelemahan rupiah.

    Tekanan Ekonomi dalam Negeri

    Nanang Wahyudin, Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, menilai tekanan terhadap rupiah kali ini dipicu oleh data ekonomi dalam negeri yang kurang menggembirakan, terutama data indeks manufaktur yang kembali melemah.

    Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia menunjukkan kontraksi selama dua bulan berturut-turut, yaitu 49,3 pada Juli dan 48,9 pada Agustus. Angka ini merupakan yang terendah sejak Agustus 2021.

    "Turunnya PMI Manufaktur ini menimbulkan kekhawatiran karena sektor manufaktur memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Ini juga bisa menjadi noda pada catatan kinerja Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya pada Oktober mendatang," ujar Nanang, dikutip Rabu 4 September 2024.

    Sentimen Pasar Global

    Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebutkan, meski rupiah tertekan, pelemahannya cenderung terbatas berkat permintaan investor yang kuat dalam lelang surat utang negara (SUN), yang mencatatkan total penawaran masuk sebesar Rp 45,48 triliun.

    Namun, Josua memperkirakan, hari ini Rabu 4 September 2024, rupiah masih akan dibayangi pelemahan. Hal ini disebabkan oleh data ISM manufacturing PMI Amerika Serikat yang dirilis pada malam nanti, yang diperkirakan menunjukkan perbaikan setelah empat bulan berturut-turut berada dalam kontraksi.

    "Potensi pemulihan indikator manufaktur AS ini bisa mengurangi peluang The Fed untuk memotong suku bunga secara agresif di akhir tahun," kata Josua, dikutip Rabu 3 September 2024.

    Josua memproyeksikan, rupiah akan melemah dan bergerak di kisaran Rp 15.475 hingga Rp 15.575 per dolar AS pada Rabu 4 September 2024.

    Senada dengan Josua, Nanang juga memprediksi rupiah masih akan tertekan dengan rentang harga antara Rp 15.460 hingga Rp 15.610 per dolar AS.

    Daya Beli Anjlok

    Deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut, dengan deflasi sebesar 0,03 persen pada Agustus 2024 dan inflasi tahunan yang hanya mencapai 2,12 persen, mencerminkan penurunan daya beli masyarakat.

    Penurunan konsumsi domestik, terutama di sektor komunikasi dan jasa keuangan, turut memperlemah sentimen pasar terhadap rupiah, karena konsumsi domestik adalah penopang utama perekonomian Indonesia.

    Dari sisi eksternal, penguatan indeks dolar AS dan kenaikan imbal hasil US Treasury bertenor 10 tahun yang mencapai 3,91 persen menarik arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, menuju aset yang lebih aman di Amerika Serikat.

    Tekanan ini semakin diperburuk oleh kondisi ekonomi global, di mana PMI Manufaktur AS yang turun ke angka 48 pada Agustus 2024 menandakan kontraksi lebih lanjut, sementara PMI Manufaktur Umum Caixin di China hanya sedikit meningkat ke 50,4, menunjukkan bahwa ekspansi ekonomi di China juga sangat moderat.

    Secara keseluruhan, kombinasi dari faktor-faktor domestik seperti penurunan daya beli dan kontraksi di sektor manufaktur, serta tekanan eksternal dari penguatan dolar AS dan kondisi ekonomi global yang tidak menentu, terus membebani nilai tukar rupiah. Jika tren ini berlanjut, stabilitas ekonomi Indonesia bisa menghadapi tantangan yang lebih serius di masa mendatang.

    Sebelumnya diberitakan, Dolar AS menguat untuk sesi kedua berturut-turut pada Kamis, 29 Agustus 2024, setelah data ekonomi menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat tumbuh lebih cepat dari yang diharapkan pada kuartal kedua 2024.

    Data tersebut mengungkapkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh pada tingkat tahunan sebesar 3,0 persen, revisi naik dari estimasi sebelumnya sebesar 2,8 persen.

    Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan kenaikan 1,4 persen yang tercatat pada kuartal pertama. Hasil ini mengurangi kemungkinan penurunan suku bunga sebesar 50 basis poin oleh Federal Reserve pada bulan depan dan meningkatkan optimisme bahwa Amerika Serikat mungkin dapat menghindari resesi atau hanya mengalami resesi ringan.

    Sebagai dampak dari data ekonomi yang kuat, dolar menguat terhadap beberapa mata uang utama. Dolar mencapai level tertinggi dalam satu minggu terhadap yen Jepang, dengan pasangan dolar/yen naik 0,1 persen ke posisi 144,77 setelah sempat mencapai 145,55.

    Terhadap euro, dolar juga menguat, dengan euro turun 0,4 persen menjadi USD 1,1077, mencatat penurunan mingguan terbesar sejak awal April.

    Data tambahan menunjukkan bahwa klaim pengangguran mingguan turun sebanyak 2.000 menjadi 231.000, mengindikasikan kondisi pasar tenaga kerja yang tetap solid.

    Pasar suku bunga berjangka kini memperkirakan peluang 35 persen untuk pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin bulan depan, sedikit turun dari 37 persen pada hari sebelumnya.

    Indeks Dolar (DXY), yang mengukur kinerja dolar terhadap enam mata uang utama lainnya, naik 0,3 persen menjadi 101,35, menunjukkan peningkatan mingguan terbesar sejak awal April. Kenaikan ini memperkuat posisi dolar di tengah ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap tinggi lebih lama daripada yang diperkirakan sebelumnya.

    Menjelang akhir bulan, dolar AS mengalami penguatan yang didorong oleh arus akhir bulan, di mana investor cenderung menutup posisi dan kemudian membeli kembali dolar untuk menyeimbangkan portofolio mereka.

    Analis dari Jefferies, Brad Bechtel, menyebutkan bahwa dolar mungkin akan kembali menguat ke area 103-104 pada indeks DXY setelah mengalami oversold di bawah 101.

    Kenaikan ini juga dipengaruhi oleh aksi jual dolar yang dianggap berlebihan, meskipun ada ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve.

    Sepanjang Agustus, dolar telah kehilangan 2,7 persen dari nilainya, mencatat penurunan bulanan terbesar sejak November 2023. Investor kini menunggu rilis data indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) inti pada hari Jumat, yang merupakan indikator inflasi utama bagi Federal Reserve.

    Data ini dapat memberikan petunjuk tentang besarnya penurunan suku bunga yang mungkin terjadi pada pertemuan Federal Reserve berikutnya. (*)

     

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi