KABARBURSA.COM – Peningkatan eskalasi perang Iran-Israel dikhawatirkan bakal berdampak ke berbagai sektor, terutama transportasi. Perang ini dikhawatirkan mengganggu jalur distribusi laut sejumlah komoditas dan meningkatkan biaya logistiknya.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno selaku Pengamat Transportasi menyatakan bahwa pihaknya belum merasakan dampak naiknya harga minyak dunia dengan kondisi operasional transportasi massal di Indonesia.
"Saya belum dapat info itu, belum ada. Mungkin pemerintah di bidang energi lebih banyak tahu. Tapi sejauh ini belum ada kekhawatiran kecuali nanti harga BBM naik tinggi," ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 16 Juni 2025.
Djoko menyoroti, pemerintah harus tegas dalam mengurangi ketergantungan masyarakat terkait penggunaan BBM dalam penggunaan kendaraan pribadi.
"Dari dulu sudah saya beritahu bahwa BBM subsidi itu dihapus saja kecuali untuk kendaraan angkutan barang dan penumpang. Tapi, kenyataannya BBM subsidi kita kan dipakai oleh kendaraan pribadi semua sebanyak 93 persen itu dibiarin saja dan selalu dimanjakan," jelasnya.
Pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini berujar, BBM subsidi serung salah sasaran dan tetap digunakan oleh pemilik kendaraan pribadi yang tergolong mampu.
"Ngapain (kendaraan) pribadi di subsidi? Contoh, di Jakarta itu banyak yang rumahnya jelek tapi motornya punya dua. Rumah enggak layak tapi punya motor. Itulah indonesia," kata Djoko.
"Makanya yang penting angkuta umum itu harus bagus dan menyentuh rakyat banyak. Tapi, sayang pemerintah lamban, mungkin baru Gubernur DKI Pramono Anung yang bergerak cepat," sambungnya.
Elektrifikasi Angkutan Umum Jadi Solusi Ketergantungan BBM?
Djoko menilai, elektrifikasi untuk transportasi umum juga berjalan lamban karena membutuhkan investasi yang besar termasuk pada infrastruktur pendukungnya. Hal ini yang membuat elektrifikasi baru terdapat di kota besar, khususnya DKI Jakarta.
"Ya ini belum lah, apalagi di daerah-daerah. Boro-boro pakai listrik, yang ada nanti angkutannya malah hilang. Mau elektrifikasi tapi tambangnya dihentikan, dan masyarakat di daerah sekitar tambang justru malah melarat," ucap Djoko.
Akademisi Prodi Teknik Sipil dari Unika Soegijpranata, Semarang Jawa Tengah ini bilang, dampak kenaikan harga minyak dunia sebagai imbas perang Israel dan Iran, terhadap transportasi nasional belum bisa diperkirakan.
"Intinya kita belum tahu walaupun ini pasti berpengaruh. Cuma pemerintah itu harus perhatikan, misalnya ketika haga minyaknya bagus, dia lupa. Kalau melambung baru ingat, selalu begitu. Makanya program ketahanan energi dari Kementerian ESDM juga harus jelas," pungkas Djoko.
Jalur Minyak Dunia Tersendat Akibat Perang Israel dan Iran
Gejolak harga minyak dunia kembali memanas seiring eskalasi konflik Iran-Israel dan berbagai sentimen pasar yang bertumpuk. Pengamat pasar modal Wahyu Laksono menyebut lonjakan harga minyak saat ini tidak bisa dilepaskan dari kombinasi tekanan geopolitik, pengetatan pasokan, dan sentimen makroekonomi global yang menguat.
“Ketegangan antara Iran dan Israel membuat pasar sangat waspada. Risiko gangguan pasokan dari kawasan Teluk Persia nyata dan sangat memengaruhi pergerakan harga,” ujar Wahyu kepada KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 16 Januari 2025.
Kawasan tersebut merupakan urat nadi energi dunia. Hampir sepertiga produksi minyak global berasal dari wilayah itu dan sekitar 20 persen dari pengiriman minyak mentah global melalui laut bergantung pada jalur strategis Selat Hormuz.
“Kalau Selat Hormuz sampai terganggu, maka pasar akan benar-benar panik. Itu jalur vital distribusi energi global. Gangguan sedikit saja bisa langsung memicu lonjakan harga secara drastis,” tegas Wahyu.
Menurutnya, pelaku pasar kini semakin memperhitungkan risiko geopolitik sebagai salah satu faktor utama dalam menilai outlook harga komoditas, terutama minyak. Bahkan, kata Wahyu, sekadar spekulasi penutupan Selat Hormuz sudah cukup untuk menciptakan gelombang volatilitas tajam.
Tak hanya faktor geopolitik, Wahyu juga menyoroti laporan dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA) yang menunjukkan penurunan persediaan minyak mentah lebih besar dari ekspektasi pasar. Hal ini memberi sinyal bahwa pasokan global mulai mengetat.
“Laporan EIA minggu ini cukup mengejutkan. Turunnya stok minyak AS di luar ekspektasi jadi bukti bahwa pasar sedang menuju kondisi undersupply. Ini menjadi booster tambahan bagi harga minyak,” jelas Wahyu.(*)