KABARBURSA.COM - Emiten farmasi terpantau tumbuh dalam penutupan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Jum’at, 13 Juli 2024, kemarin. Tumbuhnya saham emiten farmasi dinilai tidak terpengaruh oleh harga obat yang tinggi.
Director PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk, Reza Priyambada menuturkan naiknya harga obat merupakan suatu hal yang wajar terjadi lantaran harga produksi yang melonjak naik. Pasalnya, harga produksi obat, tergantung dengan kondisi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Jika rupiah melemah, kata Reza, harga produksi emiten farmasi ikut terangkat naik. Pasalnya, mayoritas bahan baku obat-obat dalam negeri berasal dari impor.
“Kalau rupiah lagi melemah, maka biaya bahan baku kan menjadi lebih mahal. Untuk mengkompensasi biaya tinggi tersebut maka perusahaan farmasi akan melakukan penyesuaian kepada harga jual. Jadi, wajar jika harga obat di bilang mahal karena biaya produksinya juga mahal,” kata Reza kepada Kabar Bursa, Sabtu, 13 Juli 2024.
Jika harga obat tetap tinggi dengan ketersediaan bahan baku tersedia di dalam negeri, tutur Reza, hal itu terjadi akibat inefisiensi dalam proses produksi, baik masalah di mesin produksi, sumber daya manusia, maupun biaya produksi.
Reza menilai, persoalan bahan baku obat ini mesti menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah. Dengan begitu, industri farmasi bisa berproduksi dengan lebih efisien dan menghemat biaya.
“Harus menjadi perhatian pemerintah untuk bisa menyediakan bahan baku murah sehingga perusahaan farmasi bisa berproduksi dengan biaya yang lebih murah,” ujarnya.
Lebih jauh, Reza juga merekomendasikan beberapa saham diantaranya, KLBF TP 1825; TSPC TP 2250; SIDO TP 850; IKPM TP 280.
Sebelumnya, pengamat pasar modal, Wahyu Laksono juga menyebut, produk farmasi berbeda dengan jenis konsumsi lainnya. Obat, kata dia, hampir tidak memiliki kompetitor di pasar domestik dan tidak dapat digantikan kebutuhannya.
“Berbeda dengan produk konsumsi seperti makanan atau minuman. Obat jelas signifikan dan cenderung hampir tidak memiliki kompetitor di domestik. Obat ya obat, nggak bisa ditolak kali dibutuhkan,” kata Wahyu kepada Kabar Bursa.
Semahal apapun harga obat, kata Wahyu, masyarakat akan tetap mengonsumsi komoditas tersebut. Dalam hal ini, pengaruh lemahnya nilai tukar rupiah tidak terlalu berdampak pada kinerja emiten farmasi kecuali political will yang diambil oleh pemerintah.
“Emiten farmasi akan tetap potensial karena masih dibutuhkan apapun kondisinya,” jelasnya.
PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), pekan ini mencatat peningkatan 4,70 persen dengan rata-rata harga saham Rp1,500 hingga Rp1,590 per lembar saham. KLBF mencatat volume perdagangan hingga 127,3 juta dan saham yang diperdagangkan hingga Rp196,4 miliar. Adapun frekuensi perdagangan saham KLBF tercatat sebanyak 15,142.
Sementara PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC), tercatat menguat 2,77 persen dengan harga rata-rata saham yang diperdagangkan di kisaran Rp1,970 hingga Rp2,060. TSPC mencatat volume perdagangan hingga 10 juta dan saham yang diperdagangkan hingga Rp20,1 miliar. Adapun frekuensi perdagangan saham TSPC tercatat sebanyak 1,410.
Sedangkan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), terpantau fluktuatif di panel perdagangan pekan ini dengan harga saham rata-rata Rp730 hingga Rp760. SIDO mencatat volume perdagangan hingga 102,2 juta dan saham yang diperdagangkan hingga Rp75,8 miliar. Adapun frekuensi perdagangan saham KLBF tercatat sebanyak 16,664.
Di sisi lain, PT Ikapharmindo Putramas Tbk (IKPM), terpantau tumbuh di panel perdagangan pekan ini hingga 4,96 persen dengan harga saham rata-rata Rp238 hingga Rp254 per lembar saham. IKPM mencatat volume perdagangan hingga 10,5 juta dan saham yang diperdagangkan hingga Rp2,6 miliar. Adapun frekuensi perdagangan saham IKPM tercatat sebanyak 816.
Pemerintah Siapkan Langkah Mitigasi
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, meminta masyarakat bersabar tentang tingginya harga obat dalam negeri. Diketahui sebelumnya, Menkes sempat menyebut harga obat di Indonesia lebih tinggi hingga 500 persen ketimbang Malaysia.
Budi Gunadi mengaku, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah mencari solusi bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menekan harga obat dalam negeri. Dia juga mengaku telah menemukan tolok ukur atau benchmark harga obat untuk disesuaikan di Indonesia.
“Itu sabar tuh, ini sedang bikin sama Bapak Presiden, kita nyiapin. Tapi satu yang sudah kita lihat, sudah kita benchmark. Memang harga obat di Indonesia lebih tinggi,” kata Budi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2024.
Budi menyebut, benchmarking akan disesuaikan dengan harga obat anggota G20 dan negara-negara di Asia. Dia menilai, proses itu akan membantu menemukan titik persoalan mahalnya harga obat dalam negeri.
Di sisi lain, Budi juga mengaku telah menemukan data penyebab tingginya harga obat dalam negeri. Meski begitu, dia mengaku tengah mencari kontribusi dari tiap-tiap penyebab meningkatnya harga obat.
“Karena ada banyak, gara-gara pajak, gara-gara distribusi, gara-gara tata kelola, itu banyak kan. Nah sekarang kita mau coba rapihkan berapa sih kontribusi masing-masing penyebab itu,” jelasnya. (and/*)