KABARBURSA.COM - Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan agar negara-negara ASEAN fokus dalam mempercepat transisi energi ke energi terbarukan di wilayah kawasan. Adapun dorongan tersebut menyusul sikap setengah hati hasil pertemuan para Menteri Energi ASEAN (ASEAN Ministers on Energy Meeting/AMEM) ke-42 di Laos akhir bulan September lalu.
IESR menilai, sikap setengah hati dalam transisi energi AMEM lantaran masih menempatkan batu bara dan gas sebagai salah satu sumber energi melalui penggunaan teknologi penyimpanan dan penangkapan emisi (CCS/CCUS).
IESR menilai, memitigasi naiknya suhu bumi akibat emisi dari pembakaran energi fosil mesti direspons dengan upaya mempercepat transisi energi ke energi terbarukan di kawasan. Langkah pengembangan energi terbarukan akan berpengaruh signifikan terhadap pencapaian target iklim global, dibandingkan mengandalkan teknologi batu bara bersih (Clean Coal Technology, CCT).
Adapun dalam laporannya, AMEM juga mendukung perdagangan listrik lintas batas melalui ASEAN Power Grid (APG) untuk memperkuat keamanan energi dan ketahanan kawasan. Dalam hal ini, IESR menyambut positif dengan catatan sumber listrik yang digunakan harus berasal dari energi terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menuturkan, upaya memperkuat konektivitas energi di kawasan perlu diimbangi dengan komitmen yang jelas dan penetapan target bauran energi terbarukan yang signifikan untuk dekarbonisasi sektor kelistrikan.
Diketahui, hingga 2022 kontribusi energi terbarukan terhadap total pasokan energi primer (total primary energy supply/TPES) ASEAN baru sebesar 15,6 persen atau meningkat tipis sekitar 0,2 persen dari 2021.
Fabby menilai, data tersebut menunjukkan bahwa negara anggota ASEAN harus bekerja lebih keras untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan. Menurutnya, negara-negara ASEAN bisa lebih ambisius dalam mengambangkan teknologi energi terbarukan seperti surya, angin, panas bumi, dan biomassa ke dalam sistem energinya.
“Kerja sama lintas negara dalam APG yang perlu memasukkan akselerasi pengembangan pasokan listrik dari energi terbarukan, selain juga peningkatan integrasi pembangkit energi terbarukan dalam jaringan kelistrikan regional dan di setiap AMS,” kata Fabby dalam keterangannya, dikutip Sabtu, 5 Oktober 2024.
Di sisi lain, pertemuan AMEM juga membahas peran batu bara yang masih mendominasi bauran energi ASEAN. Fakta tersebut dinilai sebagai bentuk setengah hati kawasan ASEAN untuk segera beralih dari energi fosil dengan sikapnya yang mengapresiasi adopsi teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon, seperti CCS/CCUS.
“Namun, IESR menilai bahwa fokus ASEAN seharusnya lebih diarahkan pada akselerasi pengembangan infrastruktur energi terbarukan yang sudah terbukti lebih efektif dan ekonomis,” ungkap Fabby.
Sementara itu, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi menilai, teknologi CCS dan CCUS yang secara keekonomiannya masih mahal dengan biaya investasi yang tinggi. Menurutnya, biaya pengoperasian CCS akan semakin mahal jika gas yang diproses memiliki konsentrasi CO2 yang rendah.
Selain itu, Arief juga menilai teknologi CCS/CCUS belum teruji keandalannya dalam menurunkan emisi, khususnya di Indonesia. Menurutnya, lebih baik kawasan ASEAN berupaya mendorong investasi yang tujuannya menurunkan emisi secara signifikan dan memberikan manfaat ekonomi dalam jangka panjang, seperti dengan pemanfaatan energi terbarukan.
“Tren penurunan biaya pembangkitan energi terbarukan menunjukkan teknologi energi terbarukan semakin kompetitif. Sementara investasi pada CCT justru akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan memperbesar risiko aset mangkrak (stranded assets),” ungkapnya.
Mengutip studi IESR, tercatat penggunaan CCS memerlukan investasi yang besar, sekitar USD 3 miliar untuk mengurangi 25-33 juta ton CO2 dalam kurun waktu 10-15 tahun.
IESR menilai, jika dibandingkan dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Indonesia yang mencapai 44,6 GigaWatt pada 2022, penggunaan CCS akan menghabiskan biaya lebih banyak dengan nilai manfaat yang minim dalam upaya mengurangi emisi karbon dan mencapai target iklim.
“Selain itu, biaya CCS enam kali lebih mahal dibandingkan pembangkitan listrik dengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang didukung oleh teknologi penyimpanan energi,” kata Arief.
Koordinator Proyek Transisi Energi Asia Tenggara IESR, Agung Marsallindo menuturkan, keterlibatan masyarakat dalam forum AMEM beberapa waktu juga sangat minim. Menurutnya, minimnya keterlibatan masyarakat menyebabkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik regional yang diambil.
Karenanya, IESR sendiri mendorong proses AMEM digelar dengan lebih terbuka untuk memastikan keterlibatan publik dapat memantau dan memberikan masukan. Agung menilai, masyarakat sipil harus menjadi bagian dari transisi energi yang adil dan inklusif, di mana keputusan kebijakan energi di tingkat ASEAN juga harus mengikutsertakan lembaga masyarakat sipil independen dan tidak berpihak pada kepentingan geopolitik negara mana pun.
“Karena keputusan politik ini akan berdampak pada masyarakat regional, sehingga partisipasi publik dalam proses ini sangat penting untuk mengedepankan aspek inklusivitas dan berkeadilan dalam transisi energi,” ungkap Agung.
Lebih jauh, IESR mendorong negara-negara ASEAN untuk lebih proaktif mengembangkan kebijakan dan regulasi yang mendukung energi terbarukan dan infrastruktur yang berkelanjutan. Selain itu, IESR menekankan pentingnya akses yang luas bagi publik untuk berpartisipasi pada pengambilan keputusan terkait energi di ASEAN. (*)