KABARBURSA.COM – Ada ironi besar yang membayang di balik lubang-lubang bekas tambang batu bara Indonesia. Lahan-lahan yang dahulu jadi saksi kerakusan eksploitasi sumber daya alam itu ternyata menyimpan potensi energi baru dan terbarukan yang luar biasa. Tapi, seperti biasa, potensinya besar, eksekusinya kecil.
Indonesia menempati peringkat kedua dunia dalam pengembangan energi surya di lahan bekas tambang dengan estimasi kapasitas mencapai 59,45 gigawatt (GW). Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah baru mengumumkan rencana pemanfaatan sebesar 600 megawatt (MW)—hanya secuil alias hanya satu persen dari potensi sesungguhnya.
Temuan ini datang dari laporan terbaru Global Energy Monitor (GEM) yang bertajuk “Bright Side of the Mine: Solar’s Opportunity to Reclaim Coal’s Footprint”. Di dalamnya, GEM memetakan 446 area tambang batu bara seluas 5.820 kilometer persegi di seluruh dunia, termasuk tambang yang sudah tak aktif sejak 2020 hingga tambang yang diperkirakan akan ditinggalkan pada 2030 seiring habisnya cadangan. Potensinya adalah nyaris 300 GW kapasitas energi surya—setara 15 persen dari kapasitas surya global saat ini. Indonesia masuk papan atas dalam daftar itu.
“Warisan batu bara tertulis di tanah, tetapi warisan itu tidak harus menentukan masa depan. Transisi tambang batu bara ke surya sedang berlangsung, dan potensi ini siap dimanfaatkan di negara-negara produsen batu bara utama seperti Australia, Amerika Serikat, Indonesia, dan India,” ujar Manajer Proyek Energy Transition Tracker di Global Energy Monitor, Cheng Cheng Wu, dalam laporannya yang dikutip Selasa, 24 Juni 2025.

Kalau dibayangkan, lahan-lahan bekas tambang itu seperti bekas luka besar yang belum diobati. Tapi justru di luka itu bisa tumbuh sumber daya energi baru yang bersih, ramah lingkungan, dan hemat lahan karena tidak perlu membuka kawasan baru. Di tengah dorongan global untuk transisi energi, aset seperti ini seharusnya jadi rebutan, bukan justru diabaikan.
Lahan Tambang Bisa Jadi Ladang Surya, tapi Masih Jadi Janji
Penelitian GEM menemukan, setidaknya ada 26 lokasi tambang yang diprediksi akan tutup pada 2030 di Indonesia. Total luasnya mencapai 1.190 kilometer persegi. Jika dialihfungsikan, lahan ini berpotensi menghasilkan kapasitas hingga 59,45 gigawatt (GW) tenaga surya.
Dua provinsi di Kalimantan—Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur—menjadi penyumbang lahan terbesar yang akan menganggur lima tahun ke depan. Tapi seperti banyak potensi lainnya, peluang ini belum benar-benar disentuh pemerintah. Hingga hari ini, baru diumumkan rencana pembangunan PLTS sebesar 600 megawatt (MW), alias hanya sekitar 1 persen dari total potensi yang disorot GEM.
Salah satu perusahaan pelat merah, PT Bukit Asam Tbk, sebenarnya sudah menyiapkan rencana sejak 2021. Mereka menargetkan pembangunan tiga PLTS di lahan bekas tambangnya, yakni 200 MW di Sumatera Barat, 200 MW di Sumatera Selatan, dan 30 MW di Kalimantan Timur. Rencana itu dikonfirmasi lagi pada 2023. Tapi sampai pertengahan 2025 ini, kemajuannya nyaris tak terdengar. Masih sebatas papan nama, bukan panel surya.
Padahal, mengubah bekas tambang jadi ladang PLTS bisa menjadi jalan tol bagi Indonesia mencapai target netral karbon pada 2060. Selain menambah kapasitas energi terbarukan, proyek ini sekaligus bisa memulihkan lahan rusak, memanfaatkan tenaga kerja lokal, dan memanfaatkan infrastruktur jaringan listrik yang sebagian besar sudah tersedia.
Namun tak semudah membalik panel. Transformasi lahan tambang ke PLTS butuh kemauan politik dan kebijakan yang proaktif. GEM menyebut, pemerintah perlu menyusun kerangka kebijakan prioritas yang mendorong pengembangan energi bersih di atas lahan tambang, mengintegrasikan reklamasi dengan investasi energi, serta menempatkan masyarakat lokal sebagai pusat pembangunan, bukan sekadar penonton.
“Kami telah melihat apa yang terjadi di komunitas batu bara saat perusahaan bangkrut, yakni adanya pemecatan pekerja dan meninggalkan kerusakan. Namun lahan bekas tambang juga menyimpan potensi besar untuk masa depan energi terbarukan dan ini sudah mulai terjadi. Kita hanya perlu campuran insentif yang tepat untuk mendorong pengembangan tenaga surya di daerah-daerah tambang,” kata Direktur Asosiasi di Global Energy Monitor, Ryan Driskell Tate.
Nilai strategis dari konversi ini tidak cuma soal iklim. GEM memproyeksikan, pemanfaatan bekas tambang untuk PLTS bisa menciptakan lebih dari 577 ribu lapangan kerja, yang terdiri dari 259.700 pekerjaan permanen dan 317.500 pekerjaan konstruksi. Jumlah ini bahkan melebihi tenaga kerja yang diperkirakan bakal hilang akibat menyusutnya industri batu bara secara global hingga 2035.
“Penggunaan kembali tambang untuk pengembangan tenaga surya menawarkan peluang langka untuk menyatukan pemulihan lahan, penciptaan lapangan kerja lokal, dan penggunaan energi bersih dalam satu strategi. Dengan pilihan yang tepat, lahan yang sama yang menggerakkan era industri dapat membantu menggerakkan solusi iklim yang kini sangat kita butuhkan,” kata Cheng Cheng Wu.
Berikut daftar peringkat wilayah negara-negara dengan potensi terbesar untuk pengembangan PLTS di atas lahan bekas tambang batu bara.

