KABARBURSA.COM - Harga batu bara global pada pertengahan pekan ini menunjukkan pergerakan bervariasi, dengan sebagian besar kontrak berjangka mengalami penguatan tipis.
Di pasar Newcastle, harga kontrak September 2025 justru terkoreksi USD0,3 menjadi USD108,5 per ton, sementara kontrak Oktober naik USD0,15 ke USD109,85 dan kontrak November bertambah USD0,3 menjadi USD111,1 per ton.
Sementara di pasar Rotterdam, kontrak September melemah USD0,15 menjadi USD96,4, kontrak Oktober stabil di USD97,6, dan kontrak November naik tipis USD0,05 ke USD98,6 per ton.
Penguatan harga batu bara global kali ini erat kaitannya dengan kabar dari China, konsumen terbesar dunia, yang mencatat lonjakan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru sepanjang paruh pertama tahun 2025.
Lonjakan tersebut terjadi di saat Beijing juga menambah kapasitas energi bersih dalam jumlah rekor, yang menunjukkan strategi ganda negara itu untuk menjaga ketahanan energi. Pada saat yang sama, penurunan harga batu bara sejak tahun lalu mulai mengubah lanskap profitabilitas sektor hilir.
Perusahaan kimia berbasis batu bara, seperti Ningxia Baofeng Energy Group, mencatat lonjakan laba hingga 73 persen pada semester I 2025, sementara Shenhua Energy membukukan kenaikan laba hampir 20 kali lipat di fasilitas kimianya.
Sebaliknya, produsen berbasis minyak seperti Sinopec menderita kerugian hingga 4,5 miliar yuan, lebih dalam dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini menegaskan bahwa batu bara, meski dikritik secara lingkungan, tetap menjadi penopang penting bagi industri energi dan manufaktur China.
RI Cabut Aturan Harga Acuan Minimum Batu Bara
Namun, sentimen positif global ini berhadapan dengan dinamika domestik di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian ESDM mencabut aturan yang mewajibkan penjualan mineral dan batu bara mengikuti harga acuan minimum, sehingga ruang negosiasi harga menjadi lebih longgar.
Pada sisi lain, kinerja ekspor batu bara nasional sepanjang Januari–Juli 2025 melemah tajam. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor anjlok 21,74 persen menjadi USD13,82 miliar dari sebelumnya USD17,66 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Volume ekspor juga turun 6,96 persen dari 230,76 juta ton menjadi 214,71 juta ton.
Direktur Jenderal Minerba Tri Winarno, menjelaskan bahwa penurunan kinerja ekspor ini lebih banyak dipengaruhi oleh peningkatan produksi di negara tujuan utama Indonesia, yaitu China dan India.
Dengan produksi domestik kedua negara itu meningkat, ketergantungan terhadap impor batu bara dari Indonesia otomatis berkurang. Penurunan harga global juga menjadi faktor tambahan yang menekan nilai ekspor.
Menurutnya, fluktuasi harga adalah bagian dari siklus alami komoditas, sehingga koreksi saat ini masih dalam batas yang wajar.
Sebagai respons, pemerintah bersama asosiasi pertambangan kini aktif mencari pasar baru untuk menutupi potensi penurunan permintaan dari China dan India. Fokus diarahkan ke kawasan Asia Tenggara, dengan Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina disebut sebagai negara potensial.
Diversifikasi pasar dianggap penting untuk menjaga stabilitas ekspor di tengah dinamika global yang terus berubah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada dua negara pembeli utama.
Dengan kondisi ini, pasar batu bara global berada pada persimpangan. Dari luar negeri, kebutuhan energi China tetap menjadi katalis utama yang menopang harga, sementara dari dalam negeri, Indonesia menghadapi tantangan serius akibat penurunan ekspor dan kompetisi ketat dengan produsen lain.
Pergerakan harga yang cenderung menguat tipis memberi sinyal bahwa pasar masih menilai batu bara relevan, setidaknya dalam jangka menengah, meski transisi energi menuju sumber terbarukan semakin kuat.(*)
 
      