KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan pentingnya generasi muda memahami peran mereka dalam berkontribusi kepada negara, salah satunya melalui kewajiban membayar pajak.
Pajak merupakan instrumen vital bagi negara untuk membiayai berbagai kebutuhan.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan bahwa pajak digunakan untuk mendukung program pembangunan. Menurutnya, pembangunan hanya bisa tercapai jika masyarakat turut serta secara aktif dalam memenuhi kewajiban pajak mereka.
“Ini bukan kebijakan yang diambil sembarangan, tetapi ditujukan untuk membiayai berbagai program yang bermanfaat,” kata Isa dalam acara Budget Goes To Campus di Kampus Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Surabaya, Jawa Timur, Rabu, 2 Oktober 2024.
Katanya lagi, dengan membayar pajak memungkinkan masyarakat berkontribusi bagi kemajuan negara.
Pendapatan dari pajak serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) disalurkan melalui APBN untuk mendukung program yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Isa menjelaskan bahwa APBN memiliki prioritas alokasi dana yang penting, salah satunya untuk pembangunan infrastruktur yang bertujuan memperluas konektivitas demi meningkatkan akses ekonomi.
Selain itu, pemerintah juga mengembangkan sentra ekonomi baru melalui hilirisasi dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di luar Jawa. Fokus lainnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pelayanan kesehatan dan pendidikan.
APBN juga memainkan peran dalam memberikan bantuan bagi masyarakat kurang mampu melalui program bantuan sosial dan subsidi.
“Dengan membayar pajak, kita turut berkontribusi melalui subsidi saat membeli Pertalite, solar, atau menggunakan listrik,” jelas Isa.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk muda berusia 15-24 tahun, atau Generasi Z (Gen Z), yang tidak bekerja atau termasuk dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training). Data ini menunjukkan tantangan serius terkait pengangguran di kalangan muda.
Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menekankan bahwa partisipasi masyarakat dalam menciptakan lapangan kerja berdampak pada pendapatan dan daya beli mereka.
Suahasil juga menjelaskan bahwa produktivitas masyarakat berpengaruh langsung pada penerimaan pajak negara, terutama Pajak Penghasilan (PPh).
Semakin sedikit pendapatan yang dihasilkan, semakin kecil potensi pajak yang dapat dihimpun. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam dunia kerja, yang tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan individu tetapi juga kontribusi bagi negara.
Kontribusi Kelas Pajak hanya 1 Persen
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan bahwa kontribusi masyarakat kelas menengah terhadap penerimaan pajak sangat rendah, yaitu hanya 1 persen.
“Kalau masuk ke orang pribadi, sumbangsihnya enggak besar hanya sekitar 1 persen,” Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Muchamad Arifin di acara media gathering di Novus Jiva Anyer, Banten, Kamis, 26 September 2024.
Menurut Arifin, rendahnya kontribusi kelas menengah pada penerimaan pajak karena mereka mayoritas bekerja di sektor informal seperti UMKM.
Sementara Wajib Pajak Orang Pribadi di sektor UMKM tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga tidak terintegrasi ke dalam sistem pajak. Berbeda dengan wajib pajak orang pribadi dari perusahaan atau sektor formal yang umumnya memiliki NPWP.
“Orang-orang pribadi ini biasanya masuk di sektor UMKM, sektor UMKM informalitasnya sangat tinggi sehingga dia tidak masuk dalam data perpajakan, karena mereka tidak punya NPWP,” ungkap Arifin.
Seharusnya, lanjut Arifin, pungutan pajak dari orang pribadi dapat menjadi penopang penerimaan pajak negara.
“Idealnya di negara maju, wajib pajak orang pribadi inilah yang jadi penopang penerimaan pajak,” tuturnya.
Adapun jumlah kelas menengah di Indonesia sebanyak 17,13 persen dari total penduduk atau sekitar 47,85 juta orang.
Oleh karenanya, Ditjen Pajak berupaya memadankan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP agar dapat mendata wajib pajak yang belum terdata sebelumnya.
“Nanti begitu NIK sudah berjalan di 2025 dan Coretax sudah berjalan, maka data tersebut jadi satu dan digabungkan. Nanti akan ketahuan, ternyata si X dengan penghasilan sekarang belum punya NPWP,” jelas Arifin.
Sistem Pajak Baru
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam waktu dekat akan menerapkan sistem administrasi pajak terbaru, Core Tax Administration System (CTAS).
Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, CTAS akan diluncurkan paling lambat pada awal tahun depan, tepatnya tanggal 1 Januari 2025.
“Insya Allah menjelang akhir tahun 2024 ini, kita sudah bisa mulai menggunakan sistem core tax. Paling tidak tanggal 1 Januari 2025,” kata Suryo di acara konferensi pers APBN KiTa edisi September di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Sebelum sistem ini benar-benar diterapkan, Suryo menyatakan pihaknya gencar mensosialisasikan, edukasi dan pelatihan, terutama kepada Wajib Pajak tertentu, terutama yang memiliki transaksi besar atau dikenal dengan istilah “Pajak Kelas Kakap.”
“Pelatihan ini ditujukan untuk mempersiapkan mereka menghadapi perubahan sistem yang akan berdampak besar pada transaksi pajak mereka,” jelas Suryo.
Suryo menyebutkan, fokus utama sosialisasi penerapan CTAS ini adalah pada 52.964 Wajib Pajak yang memiliki transaksi besar. Hal ini dilakukan karena kelompok ini akan menjadi pihak yang paling terdampak oleh implementasi sistem pajak baru tersebut.
“Kami memberikan pelatihan langsung, khususnya bagi wajib pajak dengan transaksi besar, karena mereka akan sangat terdampak oleh implementasi core tax. Ada sekitar 52.964 wajib pajak yang menjadi prioritas kami,” ucap Suryo.
Suryo menjelaskan, pelatihan intensif ini dilakukan secara langsung, terutama bagi Wajib Pajak yang berada di Kantor Wilayah (Kanwil), Large Taxpayer Office (LTO), dan Kanwil khusus, dengan harapan mereka siap menjalankan kewajiban perpajakan melalui sistem CTAS ketika resmi diterapkan.
Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CTAS) Fajry Akbar berpendapat, dengan diberlakukannya CTAS maka akan mereformasi administrasi perpajakan.
“Banyak sekali manfaatnya, termasuk mendorong penerimaan perpajakan,” kata Fajry Akbar kepada Kabar Bursa, Senin, 24 September 2024.
Akan tetapi, lanjutnya, CTAS bukanlah solusi segala masalah perpajakan yang ada, terlebih kalau isunya adalah kebutuhan pendanaan yang besar dan instan.
Fajry menjelaskan bahwa CTAS dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui proses pencocokan data yang lebih efektif menggunakan analitik big data. Selain itu, CTAS bertujuan untuk memperbaiki layanan kepada wajib pajak dengan prinsip kesederhanaan dan kemudahan administrasi.
“Kami berharap CTAS dapat menyederhanakan administrasi pemungutan pajak dan menyajikan data berkualitas tinggi bagi DJP dan wajib pajak,” jelas Fajry.
Sebenarnya, ungkap Fajry, CTAS sudah diterapkan dalam sistem administrasi perpajakan, seperti menu prepopulated dalam bukti pemotongan pajak, namun implementasinya belum optimal.
Salah satu fitur utama CTAS adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, yang memperluas cakupan wajib pajak dan diharapkan meningkatkan tingkat kepatuhan.
“Jadi, implementasi CTAS memang belum sepenuhnya optimal,” pungkas Fajry. (*)