Logo
>

Rantai Pasok Global Kini Jadi Alat Tempur Geopolitik

Amerika dan China kini saling mengunci pasokan chip, mineral langka, dan teknologi demi rebut kendali atas rantai pasok global.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Rantai Pasok Global Kini Jadi Alat Tempur Geopolitik
Bukan lagi soal tarif, Amerika dan China adu kuat lewat kontrol ekspor barang strategis. Rantai pasok jadi medan baru perang dagang global. Foto: Dok. Xinhua.

KABARBURSA.COM – Dari pertemuan terbaru antara Amerika Serikat dan China, satu hal yang menjadi terang adalah rantai pasok global kini berubah jadi alat pukul geopolitik.

Pekan ini, dua raksasa ekonomi itu akhirnya mengakhiri kebuntuan panjang perihal ekspor strategis. Bukan lagi soal tarif atau akses pasar seperti biasanya, mereka kini sibuk memperdebatkan siapa berhak membuka atau menutup keran pasokan bahan mentah dan teknologi krusial—mulai dari magnet tanah jarang hingga cip semikonduktor.

Negosiasi digelar di London. Di meja perundingan, yang dibahas bukan lagi pembukaan pasar atau aturan dagang yang ramah investor. Yang jadi prioritas adalah bagaimana mengendurkan kontrol ekspor, seolah keduanya tengah mengelola gudang amunisi, bukan perdagangan sipil.

Untuk investor dan pelaku industri, ini pertanda zaman baru. Tarik-ulur dagang kini diselingi kekhawatiran lebih besar: siapa yang mengendalikan pasokan global, dia yang menentukan irama ekonomi dunia.

“Ketidakpastian yang ditimbulkan ini enggak main-main,” kata penasihat senior Conference Board di Beijing, Alfredo Montufar-Helu, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2025.

Ia menyebut kondisi ini sebagai hal baru yang membingungkan banyak pelaku bisnis. Beberapa analis bahkan mulai membandingkan tensi dagang saat ini dengan diplomasi pengendalian senjata di masa Perang Dingin.

Bedanya, jika dulu yang dipertukarkan adalah jumlah hulu ledak nuklir, kini yang diperdebatkan adalah hak edar magnet tanah jarang dan bahan baku industri berteknologi tinggi.

Pemerintah China memang setuju melanjutkan ekspor ke AS, tapi hanya untuk enam bulan. Artinya, jeda ini bisa ditarik kembali kapan saja—dan dunia tahu betul betapa pentingnya mineral langka itu untuk berbagai sektor, dari otomotif hingga pertahanan.

Menurut Emily Benson, mantan pejabat Departemen Perdagangan AS, pendekatan ini mirip dengan strategi pencegahan bencana. Tujuan akhirnya bukan berdamai sepenuhnya, tapi menghindari skenario terburuk, yakni saling kunci dan saling sandera dalam pusaran ekonomi global.

Di medan industri modern, China punya banyak keunggulan. Negeri itu memproduksi hampir sepertiga barang industri dunia. Dari suku cadang mobil, bahan baku obat, hingga komponen elektronik—semuanya bisa berhenti mendadak jika China menutup keran.

Amerika tak punya sebanyak itu. Tapi keunggulannya ada di bidang teknologi tinggi. Dan itu cukup bikin pasar tetap gentar.

Pandemi Covid-19 menjadi momen penting yang memperlihatkan betapa rentannya dunia jika hanya bertumpu pada satu pusat produksi. Sejak itu, isu daya tahan rantai pasok menjadi percakapan serius.

Supply Chain Pecah Dua, Dunia tak Lagi Sama

Krisis chip semikonduktor buatan China sempat memaksa pabrik mobil di Missouri berhenti total pada 2021. Di Eropa, solidaritas Uni Eropa ambruk ketika masing-masing negara berebut suplai alat kesehatan seperti ventilator dan masker untuk diri sendiri.

Pengalaman itu bikin banyak perusahaan mulai bongkar ulang jalur pasokannya. Mereka periksa satu per satu titik lemah yang bisa bikin rantai logistik macet. Sebagian memilih menumpuk stok, sebagian lain memindahkan pabrik ke tempat baru, sisanya membangun cadangan jalur produksi agar tidak terlalu bergantung pada satu negara. Tapi kenyataannya, cengkeraman China atas jalur pasokan utama belum goyah.

Pandemi membuka mata dunia bahwa dominasi ekonomi bisa dijadikan senjata oleh negara mana pun yang cukup kuat.

Amerika Serikat yang selama ini rajin menggunakan keunggulan finansial global untuk menjatuhkan sanksi ke Iran dan Rusia, kini menggunakan kartu truf teknologi. Di bawah kepemimpinan Joe Biden, Washington mengetatkan ekspor semikonduktor berteknologi tinggi ke China.

Tak berhenti di situ, AS juga menekan sekutunya—Jepang dan Belanda—agar menahan suplai mesin litografi dan alat produksi chip lain ke pasar China. Tujuannya satu, yakni menggagalkan ambisi Negeri Tirai Bambu menggantikan posisi Amerika sebagai raksasa teknologi dunia.

Sebagai balasan, China ikut unjuk gigi. Negara itu memperketat ekspor mineral langka yang sangat krusial untuk industri teknologi—dari mesin mobil, cip, ponsel pintar, hingga teknologi militer. Tahun ini, Beijing menaikkan taruhan dengan menambahkan magnet tanah jarang ke daftar barang yang dikunci. Barang ini sangat penting, mulai dari mesin AC sampai jet tempur.

Pada Mei lalu di Jenewa, kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif impor dan mempercepat izin ekspor magnet ke AS. Tapi jalan damai itu tak berlangsung mulus. Washington kesal karena izin ekspor dari Beijing tak kunjung keluar, sementara pabrikan otomotif AS mulai mengeluh karena produksi terganggu.

Sebagai reaksi, AS kembali menekan lewat kebijakan ekspor. Pemerintahnya menangguhkan pengiriman mesin jet dan suku cadangnya, perangkat lunak pembuat cip, serta etana—bahan kimia dari gas alam yang digunakan untuk produksi plastik.

Pertemuan pekan ini di London mencoba memperbaiki hubungan. Kedua negara sepakat pada kerangka pemulihan gencatan dagang Mei lalu, meski tanpa banyak rincian. Presiden Donald Trump mengumumkan lewat Truth Social bahwa kesepakatan sudah tercapai dan suplai magnet serta mineral langka dari China ke AS akan dilanjutkan.

Tapi perjanjian itu datang dengan catatan izin ekspor dari China hanya berlaku enam bulan. Bagi banyak analis, ini sinyal bahwa China bisa menutup keran lagi kapan saja jika ketegangan dagang kembali memanas.

Ancaman kontrol ekspor yang bisa menghentikan perdagangan sewaktu-waktu menambah beban perusahaan yang sudah pusing menghadapi tarif dan konflik dagang yang meruyak. Menurut Ketua Kamar Dagang Amerika di Shanghai, Eric Zheng, banyak perusahaan akhirnya memilih memisahkan rantai pasok mereka—seolah AS dan China adalah dua pasar berbeda yang tak bisa disatukan lagi.

Katanya, strategi derisking kini berubah wujud: satu produksi untuk China, satu lagi untuk Amerika. Dunia bisnis terpaksa bermain di dua papan di tengah peta geopolitik yang tak lagi bisa ditebak.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).