KABARBURSA.COM - Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas) dinilai dapat menjadi dasar kuat sektor ini di era transisi energi.
Pasalnya, potensi subsektor migas Indonesia diyakini masih besar sehingga optimalisasi komoditas migas juga masih dilakukan meski Indonesia tengah berfokus kepada pemanfaatan energi bersih.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Jodi Mahardi menyatakan, diperlukan pendekatan seimbang dalam transisi energi di Indonesia. Kebutuhan akan komoditas migas dikatakannya masih diperlukan.
"Pertumbuhan ekonomi harus jalan bersamaan dengan upaya keberlanjutan. Kebutuhan migas masih penting termasuk di sektor transportasi," kata Jodi seperti dilansir laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin, 16 September 2024.
Lebih lanjut, Jodi mengakui ada tantangan dari sisi penyelarasan aturan main. Untuk itu, pemerintah bertekad untuk membangun fondasi kuat dari sisi regulasi. Salah satu regulasi paling krusial yang diperlukan yaitu revisi Undang-Undang Migas (RUU Migas).
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Ariana Soemanto menyatakan bahwa pemerintah terus memberikan kenyamanan berinvestasi kepada investor dengan tetap menjaga kepentingan Negara.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM, ungkapnya, tidak tinggal diam menunggu revisi UU migas namun paralel terus menyiapkan kebijakan yang menarik investasi.
"Dalam tiga tahun terakhir itu, bagi hasil untuk kontraktor dapat mencapai 50 persen. Sebelumnya hanya sekitar 15-30 persen. Selain itu insentif hulu migas dapat diberikan sesuai Kepmen ESDM 199/2021. Jadi sambil berjalannya revisi UU Migas, kita tidak diam dan terus lakukan perbaikan iklim investasi. IRR dan profitability index kontraktor migas diperhatikan, antara lain penyesuaian bagi hasil (split) kontraktor, FTP, investment credit dan lainnya, ruang itu dibuka," jelas Ariana.
Pada kesempatan tersebut, Deputi Eksplorasi, Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Benny Lubiantara, menegaskan penerbitan UU Migas yang baru juga merupakan salah satu strategi utama mengubah paradigma industri migas di tanah air ke depan. Tuntutan lingkungan keberlanjutan dan transisi energi dipastikan harus masuk dalam UU baru nanti.
SKK Migas, kata Benny, juga telah bertransformasi. Benny memastikan pembahasan Plan of Development (POD) akan melalui jalur "fast track" seperti apa yang terjadi di Geng North. Namun masih banyak tantangan lainnya yang baru bisa diselesaikan dengan adanya UU Migas yang baru.
"Urusannya non teknis. Mau tidak mau lewat UU Migas, ada terobosan fiskal yang harus melalui payung hukum UU Migas," ungkap Benny.
Chalid Said Salim Direktur Utama Pertamina Hulu Energi (PHE), Subholding Upstream Pertamina, menilai salah satu kebijakan adaptif yang bisa dilakukan pemerintah ke depan adalah mendukung percepatan pelaksanaan pengurasan minyak lanjutan atau Enhanced Oil Recovery (EOR). Menurut dia implementasi EOR dibutuhkan dukungan yang tidak kalah besar seperti yang diberikan pemerintah kepada pengembangan Migas Non Konvensional (MNK).
Seperti diketahui, pemerintah sudah menerbitkan beleid terbaru yang memberikan keistimewaan bagi pelaku usaha yang mengembangkan MNK dengan bagi hasil bagian kontraktor bisa mencapai 95 persen.
"MNK sudah diberikan tapi menurut saya EOR harusnya didahulukan, impact-nya akan terasa 3-5 tahun ke depan. Kami ini ingin kepastian. Khusus di Minas itu bisa sangat signifikan di situ," ungkap Chalid.
Sementara itu, Raam Krisna, Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) berharap diskusi yang diinisasi IATMI ini diharapkan bisa memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah sehingga bisa menjaga momentum peningkatan gairah investasi yang kini sedang terjadi.
"IATMI yakin dengan sinergi yang kuat dapat mewujudkan industri migas yang kompetitif dan berkelanjutan," ujar Raam.
Investasi Sektor Migas
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengaku akan melakukan penataan di sektor perizinan. Tujuannya, untuk mendongkrak investasi di sektor hulu migas.
Bahlil mengungkapkan, perizinan yang ada saat ini cukup banyak, yaitu sekitar 300-an. Oleh karena itu dia berencana akan memangkas jumlah perizinan untuk memuluskan investasi sektor hulu migas.
“Dalam rangka meningkatkan investasi di sektor hulu migas, kami sedang merumuskan langkah komprehensif dan terukur, khususnya regulasi dan perizinan yang saat ini ada sekitar 300-an,” kata Bahli.
Selain itu, lanjut Bahlil, pemerintah juga akan berdiskusi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) mengenai persoalan yang ada selama ini. “Dan akan menyiapkan 'sweetener' untuk para investor,” tuturnya.
Kata Bahlil, banyak negara di dunia berlomba-lomba mendatangkan investor asing di sektor hulu migas. Jika ini dapat dilakukan, maka pendapatan negara bisa meningkat.
“Negara-negara di dunia sekarang berlomba mencari FDI (investor asing) sektor hulu migas. Kalau ini bisa dilakukan, tentu dapat meningkatkan pendapatan kita,” ujar Bahlil.
“Karena, dari 600.000 barel per day lifting minyak sama dengan pendapatan negara kurang lebih USD12 miliar per tahun,” sambungnya.
Efek positif lainnya yang didapat adalah akan berkurangnya ketergantungan terhadap impor energi dan terciptanya lapangan kerja, yang pada akhirnya menciptakan kemandirian energi.
“Kalau kita mampu meningkatkan lifting, maka otomatis pendapatan negara akan naik, mengurangi impor, menciptakan lapangan kerja, dan perlahan-lahan kita akan menuju apa yang disebut kemandirian energi,” pungkas Bahlil. (*)