Logo
>

RI Mau Bangun Reaktor Nuklir, Risiko Dana Jadi Tembok Besar

Pemerintah kembali membuka wacana proyek reaktor nuklir. Tapi tantangan pendanaan dan regulasi masih jadi ganjalan terbesar di mata investor.

Ditulis oleh Dian Finka
RI Mau Bangun Reaktor Nuklir, Risiko Dana Jadi Tembok Besar
PLTN digagas lagi jelang pemerintahan Prabowo. Ekonom menilai proyek ini potensial, tapi risiko dana dan regulasi bikin investor tarik rem. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Pemerintah kembali menggulirkan wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di tengah transisi menuju pemerintahan Prabowo Subianto. Proyek yang pernah berkali-kali kandas itu kini dibuka lagi, menyisakan satu pertanyaan lama, siapa yang berani membiayainya?

Ekonom yang juga Pengamat Keuangan, Ibrahim Assuaibi, mengingatkan bahwa proyek strategis seperti PLTN tidak akan jalan tanpa kepastian pendanaan dan jaminan fiskal. Menurutnya, risiko pembiayaan masih menjadi momok utama, bahkan bagi investor yang sebelumnya tertarik masuk ke proyek energi berskala besar.

“Ada kekhawatiran dari investor. Ini proyek besar, mega proyek, bukan proyek kecil. Bahkan proyek IKN yang sudah didorong langsung oleh presiden saja masih banyak investor yang ragu, bahkan belum dibayar,” kata Ibrahim kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2025.

Menurutnya, proyek PLTN bisa menjadi game-changer dalam portofolio energi nasional, khususnya untuk emiten BUMN sektor ketenagalistrikan seperti PLN. Tapi dalam praktiknya, tak sedikit investor yang berhati-hati, apalagi di tengah ketidakpastian global dan tekanan ekonomi domestik.

“Investor kan enggak lihat ini proyek pemerintah atau swasta. Yang dilihat apakah ada jaminan pendanaan, ada kepastian regulasi. Jangan sampai dananya ada di atas kertas, tapi di lapangan mandek karena tak dibayar,” tegasnya.

Risiko Pendanaan Masih Jadi Momok

Ibrahim menilai, realisasi proyek nuklir membutuhkan strategi pendanaan yang realistis. Ia tak menampik pinjaman luar negeri bisa menjadi alternatif, namun umumnya tidak menutup 100 persen kebutuhan dana proyek. Artinya, pemerintah harus mampu menarik mitra strategis asing.

“Pinjaman bisa saja hanya 50 persen, selebihnya butuh partner luar negeri. Tantangannya, apakah partner mau terlibat saat ekonomi global juga lesu?” ujarnya.

Apalagi, menurutnya, pengalaman proyek reaktor nuklir di Indonesia bukan hal baru. Sejak era Presiden Soeharto dan Menristek BJ Habibie, proyek serupa sudah dikaji, namun selalu terbentur krisis dan pergantian rezim.

“Saat saya kuliah tahun 90-an itu sudah dibahas reaktor nuklir. Tapi tiap kali mau jalan, pasti mentok di pendanaan dan krisis politik. Terakhir tahun 98-99 saat krisis moneter, semua rencana tinggal kandas,” kenangnya.

Ibrahim melihat peluang baru dalam pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengangkat kembali isu energi nuklir ke level implementasi. Ia mencatat negara-negara besar seperti Jepang, Rusia, hingga Amerika Serikat sudah menjadikan reaktor nuklir sebagai bagian dari tulang punggung energi nasional.

“Kita mau ke arah itu juga. Apalagi kalau batu bara akan mulai dikurangi dalam 5–10 tahun mendatang, ya nuklir jadi pilihan logis,” ungkapnya.

Namun ia mewanti-wanti, proyek seperti ini tidak bisa berjalan hanya dengan perencanaan kertas. Dibutuhkan komitmen fiskal, dukungan kontraktor dalam negeri, serta tata kelola pembangunan yang transparan.

“Infrastruktur harus dibangun dulu, bisa oleh WIKA, PP, dan BUMN konstruksi lainnya. Tapi sekali lagi, kalau pendanaannya tidak siap, di tengah jalan bisa berhenti. Investor tidak mau risiko seperti itu,” katanya.

Harus Ada Kepastian Regulasi

Ibrahim menilai, agar proyek PLTN tak bernasib serupa dengan deretan proyek ambisius yang kandas di tengah jalan, pemerintah perlu segera menuntaskan regulasi pendukung yang memberikan kepastian hukum bagi investor.

Selama aturan teknis dan kerangka pembiayaan belum jelas, para pemodal cenderung bersikap menunggu. Menurut dia, investor membutuhkan kejelasan mengenai struktur tanggung jawab proyek, jaminan pengembalian investasi, hingga skema pendanaan yang konkret.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya peran PLN sebagai pembeli utama listrik dari PLTN. Tanpa perjanjian jual beli jangka panjang yang layak secara finansial, proyek nuklir akan sulit menarik minat investor.

“PLN harus siap. Karena yang produksi listrik dari nuklir ini pasti butuh kepastian dibeli. Kalau tidak, ya tidak feasible secara bisnis,” kata Ibrahim.

Terlepas dari tantangan dan risiko, Ibrahim menilai pembangkit listrik tenaga nuklir tetap menjadi solusi jangka panjang untuk kebutuhan energi nasional. Dengan satu reaktor saja, kata dia, bisa memenuhi kebutuhan listrik nasional secara signifikan.

“Satu reaktor nuklir bisa menerangi hampir seluruh Indonesia. Tapi pertanyaannya, kita serius enggak? Mau total atau setengah hati? Kalau setengah hati, lebih baik jangan mulai,” katanya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.