Logo
>

Tantangan Berat Adang Investasi Indonesia di 2025

Ditulis oleh Dian Finka
Tantangan Berat Adang Investasi Indonesia di 2025

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan berat dalam mendorong percepatan investasi pada 2025. Tantangan ini terutama disebabkan oleh penurunan signifikan anggaran belanja modal pemerintah, dari Rp338,9 triliun pada 2024 menjadi Rp190,6 triliun pada tahun depan dengan penurunan sebesar 43,8 persen.

    "Pemangkasan anggaran ini berdampak pada sejumlah proyek strategis, termasuk pembangunan infrastruktur jalan tol, jembatan, bendungan, serta proyek Ibu Kota Negara (IKN)," ungkap Faisal dalam acara CORE Economic Outlook 2025 and Beyond yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Sabtu, 23 November 2024.

    Meski demikian, Faisal optimistis bahwa percepatan eksekusi proyek investasi pemerintah, seperti program pembangunan tiga juta rumah per tahun, dapat menjadi pendorong investasi domestik. Namun, ia mencatat bahwa daya beli masyarakat yang masih lemah kemungkinan menjadi kendala utama dalam pelaksanaan program tersebut.

    Hilirisasi tetap menjadi motor utama pertumbuhan investasi, terutama pada sektor komoditas strategis seperti bauksit, tembaga, nikel, dan timah. "Investasi di industri logam dasar, terutama pembangunan smelter, menunjukkan tren pertumbuhan yang positif," ujar Faisal.

    Ia menambahkan bahwa sektor pertambangan dan industri logam dasar diproyeksikan terus mendominasi investasi di sektor primer dan sekunder pada 2025.

    Selain itu, hilirisasi pada sektor pertanian, seperti kelapa sawit dan karet, juga terus didorong untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor.

    Di samping itu pula, sektor farmasi diprediksi mengalami pertumbuhan signifikan, didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan pascapandemi. Program pembangunan satu juta rumah dan pengembangan 44 kawasan industri dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) juga menjadi elemen penting yang menjaga stabilitas investasi di sektor properti dan kawasan industri.

    Transformasi teknologi dan digitalisasi disebut Faisal sebagai kekuatan baru yang mendorong sektor transportasi dan telekomunikasi. Dalam laporan e-Conomy SEA 2024 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, ekonomi digital Indonesia tercatat tumbuh dari USD80 miliar pada 2023 menjadi USD90 miliar pada 2024, dengan potensi mencapai USD360 miliar pada 2030.

    "Transformasi digital kini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, menciptakan peluang besar bagi sektor transportasi, telekomunikasi, hingga e-commerce," tambahnya.

    Namun, Faisal juga menekankan perlunya reformasi struktural untuk memperkuat daya saing investasi Indonesia. Ia mencatat bahwa Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang mencapai 6,3 masih jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (2,5) dan Filipina (3,3).

    "Struktur investasi Indonesia terlalu terfokus pada bangunan (72 persen), sedangkan investasi pada mesin dan peralatan hanya 20 persen. Ini berbeda dengan Malaysia yang lebih seimbang, dengan 50 persen bangunan dan 42 persen mesin," jelasnya.

    Faisal menyoroti pentingnya mendorong investasi di sektor manufaktur untuk mengatasi tantangan deindustrialisasi. Selain itu, ia menegaskan bahwa langkah-langkah seperti pemberantasan korupsi, efisiensi birokrasi, peningkatan kualitas tenaga kerja, dan investasi pada penelitian dan pengembangan (R&D) sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas.

    "Reformasi struktural adalah jalan utama untuk meningkatkan kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia," pungkas Faisal.

    Masalah Ketenagakerjaan Tahun 2025

    Tak hanya soal investasi, Indonesia juga akan menghadapi masalah ketenagakerjaan tahun depan. Hingga kini, pembahasan soal upah minimum untuk tahun 2025 masih berlangsung. Pengusaha dan serikat buruh belum mencapai kesepakatan terkait besaran kenaikan upah, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU Cipta Kerja, yang mencakup ketentuan tentang pengupahan.

    Pihak buruh menuntut agar kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 tidak lagi mengacu pada rumusan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Pengupahan.

    PP yang diberlakukan sejak 10 November 2023 tersebut dianggap tidak relevan setelah putusan MK yang menyatakan bahwa sejumlah ketentuan dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi.

    Di sisi lain, kalangan pengusaha berpendapat bahwa penentuan UMP 2025 seharusnya tetap mengikuti ketentuan dalam PP No. 51/2023. Mereka juga menilai bahwa kenaikan upah yang terlalu tinggi, seperti yang diusulkan oleh buruh (8-10 persen), bisa membebani industri, yang masih menghadapi tantangan ekonomi dan melemahnya daya beli masyarakat.

    Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengatakan bahwa pengusaha tidak menolak kenaikan upah. Namun, ia menegaskan, penetapan UMP harus mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kinerja industri.

    “Kami berharap penetapan UMP 2025 tetap mengacu pada PP No. 51/2023 karena dianggap lebih adil dalam menentukan upah minimum,” kata Azam, Minggu, 17 November 2024.

    Bob mengungkapkan bahwa dengan mengikuti rumusan PP No. 51/2023, kenaikan UMP 2025 diperkirakan mencapai 3,5 persen, berdasarkan proyeksi inflasi sebesar 1,71 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,95 persen pada kuartal III 2024.

    Meski kenaikan hanya 3,5 persen, pengusaha harus menanggung beban biaya upah yang lebih besar, sekitar 6 persen hingga 7 persen.

    “Tidak hanya pekerja dengan upah minimum yang terdampak, tetapi pekerja dengan gaji lebih tinggi juga akan mengalami penyesuaian,” ujarnya.

    Apindo juga menyanggah anggapan bahwa kenaikan upah yang tinggi akan meningkatkan daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Bob berpendapat bahwa inflasi rendah lebih dipengaruhi oleh barang impor yang murah, sementara industri domestik justru mengalami kesulitan karena banjir produk impor.

    “Kenaikan upah di satu sisi untuk mendorong daya beli, tetapi di sisi lain industri dalam negeri terpuruk karena produk impor,” keluhnya.

    Oleh karena itu, Apindo meminta agar kenaikan UMP disertai dengan pemangkasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), guna memberikan stimulus kepada industri untuk mempertahankan kinerja mereka.

    Di sisi buruh, penolakan terhadap formula PP No. 51/2023 tegas disuarakan. Buruh menilai bahwa adanya indeks koefisien dalam rumusan tersebut, yang berada dalam rentang 0,10 hingga 0,30, akan mempertahankan rezim upah yang rendah. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.