KABARBURSA.COM – Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis), spesies endemik Danau Singkarak, kini kian rentan menuju kepunahan. Selama lebih dari tiga dekade terakhir, riset panjang yang dilakukan Prof. Hafrizal Syandri dari Universitas Bung Hatta menunjukkan ukuran rata-rata ikan yang tertangkap menyusut drastis—lebih dari 12 sentimeter sejak 1988. Kondisi ini menjadi sinyal serius atas eksploitasi yang tidak terkendali dan krisis ekologis di danau terbesar kedua di Sumatera itu.
Laporan ini terungkap dalam diskusi panel yang digelar Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), bekerja sama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Lembaga Riset dan Inovasi (PKSPL-LRI) IPB University, Universitas Bung Hatta, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat. Pemerintah provinsi pun tak menutup mata. Asisten II Jasman MM yang mewakili Gubernur Sumbar mengakui problem ini nyata dan perlu segera direspons.
Ikan bilih bukan sekadar komoditas pangan. Kandungan proteinnya mencapai 22,69 persen dalam bentuk goreng kering dan 13 persen pada ikan segar. Ia juga menyimpan omega-3 yang penting bagi kualitas gizi masyarakat sekitar danau. Lebih dari itu, bilih telah menyatu dalam adat dan budaya masyarakat Minangkabau.
“Singkarak menjadi istimewa karena ada ikan bilih, tidak sekedar pesona danau,” kata Jasman dalam keterangan tertulis PKSPL-LRI Universitas IPB, Jumat, 18 Juli 2025.
Namun, fakta lapangan memperlihatkan hal sebaliknya. Survei PKSPL IPB baru-baru ini menemukan sebagian besar ikan yang tertangkap belum mencapai usia reproduksi. Padahal, populasi nelayan di Danau Singkarak kini mencapai 1.147 orang dengan realisasi tangkapan lebih dari 500 ton per tahun—dua kali lipat dari batas maksimum lestari (MSY) sebesar 235 ton. Praktik penangkapan eksploitatif, penggunaan bom dan potas, serta alat tangkap berukuran di bawah ¾ inci memperparah tekanan terhadap ekosistem danau.
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI pun menegaskan perlunya upaya penyelamatan Danau Singkarak sebagai bagian dari penguatan program nasional untuk 15 danau prioritas. Praktik penangkapan destruktif seperti penggunaan bom dan zat kimia berbahaya semacam potas disebut turut merusak ekosistem dan mengancam kelestarian sumber daya ikan.
Kondisi inilah yang membuat International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan bilih sebagai spesies dengan status rentan. Pengelolaan berbasis prinsip perikanan terukur dinilai mendesak diterapkan agar populasi tidak terus menurun.
Kepala PKSPL Universitas IPB, Prof Yonvitner, menghitung kapasitas daya dukung protein dari ikan bilih hanya cukup untuk 2.941 orang per tahun. Bila dikombinasikan dengan tiga sumber protein lain, angkanya baru mencapai 8.823 jiwa.
“Potensi ini tentu tidak memadai untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk, peningkatan permintaan, agar kualitas ikan bilih tetap terjaga,” kata Yonvitner.
Upaya pelestarian mulai dirintis. PT Semen Padang, misalnya, telah melakukan restocking sejak 2018 dan melepaskan 17.000 individu bilih hingga 2025. Namun, kontribusi sektor swasta belum cukup. Pemerintah daerah bersama pusat harus segera mendorong pemulihan danau melalui pengendalian alat tangkap, zonasi wilayah perairan umum, serta revisi regulasi yang relevan.
“Kontribusi PT Semen Padang ini sangat nyata dan penting untuk di ikuti oleh Private Sektor lainya yang ada di Sumatera Barat,” kata Yonvitner.
Upaya penyelamatan ikan bilih di Danau Singkarak dinilai sudah memasuki fase genting. Menurut Koordinator Perairan Umum Daratan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), langkah-langkah pengendalian seperti restocking populasi, pengurangan alat tangkap, dan pemulihan ekosistem danau harus segera dilaksanakan.
Ia mencontohkan pengurangan bagan (alat tangkap statis) yang sukses diterapkan di Danau Laut Tawar dapat dijadikan referensi untuk diterapkan di Singkarak. Namun, kebijakan ini tidak bisa hanya bergantung pada pusat. Pemerintah daerah, menurutnya, tetap memiliki ruang untuk memberi masukan dan meninjau ulang aturan yang ada.
Dorongan terhadap penerapan zonasi juga menguat. Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Solok menilai pengaturan wilayah tangkap secara geografis di danau sudah mendesak dilakukan guna menekan praktik penangkapan liar yang kian merajalela. “Yang lebih penting lagi adalah mendorong budidaya ikan bilih secara serius, dan mulai merancang aksi-aksi konkret yang bersifat solutif,” kata Kepala Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Solok, Syoufitri.(*)
 
      