KABARBURSA.COM – Penutupan tambang yang dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa perencanaan matang dapat menimbulkan bencana sosial-ekonomi yang luas.
Hal ini ditegaskan oleh penasihat Carbon Inisiatif Indonesia, Hanafi Sofyan Guciano, yang menyebut bahwa praktik penghentian operasi tambang tanpa skema transisi justru berpotensi mengubah kawasan tambang menjadi kota hantu.
“Seringkali pascatambang itu dilupakan. Menutup tambang dianggap selesai, padahal yang tersisa adalah lubang dan penderitaan,” tegas Hanafi kepada awak media di Jakarta, Sabtu, 31 Mei 2025.
Menurut Hanafi, banyak kawasan tambang yang awalnya ramai oleh aktivitas pekerja dari luar daerah berubah menjadi sepi setelah tambang ditutup. Pekerja dari luar kota akan kembali ke daerah asalnya, sementara warga lokal yang menggantungkan hidup dari aktivitas ekonomi sekitar tambang akan kehilangan penghasilan.
“Yang kasihan itu warga lokal. Mereka hidup dari UKM, dari ekonomi yang terbentuk di sekitar tambang. Kalau tambangnya ditutup, dan mereka tidak di-retraining, tidak ada pilihan lain. Kota itu akan jadi kota hantu,” kata Hanafi.
Hanafi menyebut bahwa ketika perusahaan tambang angkat kaki, sering kali tidak ada insentif yang cukup untuk melakukan reklamasi. Bahkan jika pun reklamasi dilakukan, anggaran yang disiapkan sejak awal umumnya tidak lagi mencukupi.
Salah satu masalah utama dalam skema penutupan tambang, menurut Hanafi, adalah soal dana reklamasi yang disimpan sejak awal masa operasi, namun nilainya tidak tumbuh. Uang tersebut disimpan dalam bentuk deposito mati, yang tidak menghasilkan bunga sesuai dengan regulasi lembaga keuangan.
“Harga-harga naik, teknologi berubah. Tapi uang reklamasi tetap. Begitu mau dipakai, ya nggak cukup. Yang ada cuma lubang-lubang bekas tambang,” ujarnya.
Akibatnya, beban justru berpindah ke pemerintah daerah. Selain harus menghadapi kerusakan lingkungan, mereka juga harus menangani persoalan sosial akibat hilangnya sumber ekonomi warga.
Hanafi menyebut bahwa penutupan tambang secara sembrono mengabaikan tiga bentuk keadilan yang seharusnya dijunjung dalam transisi energi dan pertambangan. Pertama, keadilan bagi tenaga kerja—apakah mereka akan dilatih ulang atau tidak.
Kedua, keadilan ekonomi bagi komunitas lokal—apakah diberikan alternatif ekonomi baru. Dan ketiga, keadilan bagi generasi mendatang—karena warisan tambang bisa menjadi bencana ekologis jangka panjang.
“Jadi bukan hanya soal menutup tambang. Ini soal keadilan lintas sektor dan lintas generasi. Pemerintah harus hadir,” ujarnya.
Hanafi mengingatkan bahwa solusi transisi tidak bisa dilakukan dengan pendekatan passing out alias pemutusan mendadak, tetapi harus dilakukan secara phasing out, bertahap dan terstruktur. Ia menekankan bahwa biaya penutupan tambang tidak kecil dan risikonya tinggi.
“Kalau bicara soal biaya, teknologinya pun mahal. Butuh dana besar untuk kinergisasi. Tapi kalau tidak disiapkan sekarang, biayanya nanti jauh lebih besar,” tegasnya.
Ia menyinggung program Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD20 miliar yang bahkan hingga kini belum sepenuhnya terealisasi. Padahal untuk mendukung transisi yang adil dan efektif, Indonesia diperkirakan butuh hingga USD30 miliar per tahun.
Hanafi juga mengkritisi syarat-syarat dalam program JETP yang dinilainya terlalu rumit dan membatasi. Menurutnya, pendekatan yang terlalu berorientasi pada bisnis dan teknokratis membuat pelaksanaan program berjalan lambat dan tidak menyentuh akar masalah di lapangan.
“JETP syaratnya luar biasa kompleks. Terlalu banyak pertimbangan bisnis. Padahal ini soal sosial ekonomi juga,” tutupnya
Hanafi mengingatkan bahwa belajar dari berbagai kasus seperti Sawaruntung dan Pekitasan, pendekatan yang terlalu normatif justru memperparah dampak transisi energi jika tidak melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah sejak awal. (*)
 
      