KABARBURSA.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya enggan disalahkan terkait menurunnya jumlah kelompok kelas ekonomi menengah di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan data jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan sejak lima tahun terakhir.
Menanggapi itu, Jokowi menilai kondisi ini dipengaruhi oleh ekonomi global yang mengalami kelesuan, apalagi sebelumnya terjadi pandemi COVID-19 yang menghantam perekonomian masyarakat kelas menengah.
Kata Jokowi, problem semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Dia menyebut banyak negara di dunia mengalami masalah serupa.
"Problem seperti ini terjadi hampir di semua negara di dunia, ekonomi global turun semuanya, dua tiga tahun lalu ada COVID-19. Semua negara saat ini berada dalam posisi sulit yang sama," kata Jokowi di RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, Jumat, 30 Agustus 2024.
Untuk diketahui, berdasarkan catatan BPS menunjukkan jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta jiwa pada 2024 atau setara dengan 17,13 persen proporsi masyarakat. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa atau setara 21,45 persen dari total penduduk.
Bersamaan dengan itu, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class mengalami kenaikan, dari 2019 yang berjumlah 128,85 juta atau 48,20 persen dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk.
Begitu juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin mengalami peningkatan dari 54,97 juta orang atau 20,56 persen pada tahun 2019 menjadi 67,69 juta orang atau 24,23 perse. dari total penduduk. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas.
Hal yang sama juga terjadi pada kelompok miskin yang mengalami kenaikan tipis dari 2019 sebanyak 25,14 juta orang atau setara 9,41 persen menjadi 25,22 juta orang atau setara 9,03 persen pada 2024.
Sementara, kelompok atas juga naik tipis dari 2019 sebanyak 1,02 juta orang atau 0,38 persen menjadi 1,07 juta orang atau 0,38 persen dari total penduduk pada 2024.
Sebelumnya, pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu, 28 Agustus 2024, Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan karena pandemi COVID-19 yang menghantam perekonomian mereka.
"Memang setelah kami identifikasi masih ada scarring effect dari pandemi COVID-19 terhadap ketahanan ekonomi kelas menengah," kata Amalia.
Pola Konsumsi Kelas Menengah Berubah
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah, mengungkapkan adanya perubahan signifikan dalam pola konsumsi kelas menengah di Indonesia.
Menurut Budihardjo, perubahan ini dipengaruhi oleh gaya hidup yang semakin sibuk dan kurangnya waktu luang.
Budihardjo mengungkapkan bahwa kelas menengah saat ini lebih memilih gaya konsumsi yang cepat dan efisien, yang ia sebut sebagai pola fast and grab. Hal ini terkait dengan tidak banyaknya para kelas menengah memiliki banyak waktu yang disebabkan karena pekerjaan.
"Kelas menengah itu waktunya tidak banyak, jadi sekarang mereka lebih memilih fast and grab, kalo beli barang enggak ada waktu untuk mutar-mutar karena mereka sibuk kerja," kata Budihardjo di acara ‘Indonesia Ritel Summit 2024’ di Jakarta , Kamis, 29 Agustus 2024.
Sebagai informasi, metode fast and grab yang dimaksud merujuk pada pola konsumsi kelas menengah yang lebih cepat dan efisien.
Kelas menengah, yang biasanya sibuk dengan pekerjaan, tidak memiliki banyak waktu untuk berbelanja secara tradisional dengan berkeliling toko dalam waktu yang lama.
Sebaliknya, mereka cenderung melakukan pembelian secara cepat dan langsung untuk memenuhi kebutuhan mereka, bahkan sering kali sambil menjalankan aktivitas lainnya.
Ia menggambarkan pola belanja fast and grab bagi kelas menengah yang kini cenderung menghabiskan waktu di mal untuk nongkrong dan menikmati kopi sambil berbelanja dengan cepat, kemudian melanjutkan aktivitas nongkrongnya, atau hanya sekedar singgah ke mal bersama istri untuk membeli keperluan, lalu segera pulang setelah selesai.
"Jadi nongkrong di mal sambil minum kopi dan belanja, lanjut nongkrong lagi, atau bawa istrinya ambil cepat cepat pulang. Kelas menengah harus fast and grab," tuturnya.
Perubahan ini juga terlihat dari cara mereka berbelanja. Jika dulu kelas menengah cenderung melakukan belanja bulanan dalam jumlah besar, kini pola belanja mereka lebih sering dan dalam jumlah yang lebih kecil.
"Kalau dulu belanja bulanan, tapi sekarang belanjanya harian atau dua hari sekali. Kalau barang habis, mereka beli lagi, karena minimarket sudah ada di mana-mana," jelas Budihardjo.
Kata Budihardjo, perubahan ini memberikan dampak pada cara ritel mengelola stok barang. Jika sebelumnya peritel menyimpan stok dalam jumlah besar, sekarang cenderung mengurangi stok di gudang dan lebih sering memasok barang dalam jumlah sedikit.
"Dulu kita kalau nyetok barang dalam jumlah banyak, sekarang gudangnya kita perkecil dan stoknya mengikuti permintaan. Pembelian per transaksi lebih sedikit, tapi akumulasinya dalam sebulan tetap sama," imbuhnya.
Perubahan pola konsumsi ini menunjukkan adaptasi kelas menengah terhadap kehidupan yang lebih dinamis, serta bagaimana sektor ritel harus terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang semakin cepat dan praktis. (*)