KABARBURSA.COM - Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kenaikan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sebelum tahun 2022, tarif PPN Indonesia tetap 10 persen sejak pertama kali ditetapkan pada tahun 1983 melalui UU Nomor 8 Tahun 1983.
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tarif PPN naik menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Kini, pada 2025, tarif PPN dipastikan akan kembali mengalami peningkatan menjadi 12 persen.
Namun, sejumlah asosiasi pengusaha menyatakan keberatan terhadap rencana kenaikan tarif PPN tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengakui bahwa pihaknya telah mengusulkan agar kebijakan ini ditunda. Usulan tersebut disampaikan sebelum kabinet baru pemerintahan Prabowo Subianto terbentuk.
“Kami memberikan masukan kepada pemerintah agar kenaikan PPN 12 persen ini ditunda, mengingat kondisi perekonomian yang ada saat ini,” kata Shinta di Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2024.
Senada dengan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey juga menentang kenaikan PPN tersebut.
Roy menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN selama satu hingga dua tahun ke depan.
“Kenaikan PPN sebaiknya ditangguhkan. Daya beli masyarakat baru mulai pulih, dan ekonomi masih dalam proses pemulihan,” jelas Roy di sela acara peringatan Hari Ritel Nasional 2024 yang di JiExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 13 November 2024.
Menurut Roy, sektor ritel yang biasanya mencatatkan puncak produktivitas saat Ramadan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru. Saat ini, lanjutnya, masyarakat mulai merasakan dampak positif dari berakhirnya deflasi yang sempat melanda Indonesia.
Ia berharap, dengan pulihnya permintaan domestik, kondisi ekonomi akan terus membaik, sehingga pengusaha ritel dapat melanjutkan ekspansinya tanpa adanya hambatan lebih lanjut.
Meskipun demikian, Roy menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di sektor ritel.
Katanya, beberapa pengusaha memang memilih untuk menahan ekspansi akibat dampak deflasi, tetapi tidak ada indikasi bahwa perusahaan-perusahaan ritel akan bangkrut.
“Ritel yang tutup biasanya karena relokasi atau perubahan format bisnis, bukan karena kebangkrutan,” ujarnya.
Roy juga mengungkapkan bahwa meski tantangan ekonomi masih ada, pengusaha ritel tetap optimistis akan adanya peluang di tengah kesulitan.
“Kami berharap bahwa di 2025, tantangan yang ada bisa dihadapi dengan baik dan membawa peluang bagi sektor kami,” pungkasnya.
Daya Beli Masyarakat bakal Terpukul
Anggota Komisi XI DPR RI Muhammad Kholid meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, meninjau ulang urgensi kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang rencananya berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang.
Kholid menyebut, peninjauan ulang rencana perlu dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat. Disamping itu, dia menyebut daya beli masyarakat cenderung melemah. Kenaikan PPN 12 persen dikhawatirkan memukul ekonomi masyarakat.
“Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen bukan kebijakan yang tepat. Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat,” kata Kholid dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 16 November 2024.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.
“Di samping itu, Indonesia juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai bulan September 2024,” ungkapnya.
Kholid juga mengingatkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ada di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5. Artinya, dia menilai ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan.
Sementara menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), per Oktober 2024 ada sebanyak 59.796 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), naik 31,13 persen dari tahun lalu. Data BPS, per Agustus 2024 juga menunjukan proporsi pekerja penuh waktu turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen, sementara setengah pengangguran juga naik dari 6,68 persen ke 8 persen.
Tidak hanya itu, kata Kholid, jumlah kelas menengah juga menyusut tajam. Menurutnya, kondisi tersebut menandai bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
“Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan,” jelasnya.
Kholid menyebut, untuk meningkatkan rasio pajak, menaikkan tarif seperti PPN bukan satu-satunya pilihan. Dia menilai, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tertentu sebagaimana data Kementerian Keuangan yang menunjukkan kuartal III-2024, penerimaan pajak dari sektor Industri Pengolahan tumbuh negatif sebesar 6,3 persen secara neto dan 0,4 persen secara bruto dari tahun ke tahun.
“Penerimaan pajak sektor Pertambangan juga turun signifikan, dengan penurunan sebesar 41,4 persen secara neto dan 28,3 persen secara bruto,” ungkapnya.
Di samping itu, tutur Kholid, pemerintah juga bisa memperluas basis pajak dengan mengkaji potensi penerimaan baru dari shadow economy dan menekan kebocoran dari perilaku penghindaran dan penggelapan pajak, termasuk transfer pricing.
Kholid juga menegaskan, UU HPP juga memuat peraturan tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sementara Kementerian Keuangan berdalih, kenaikkan PPN merupakan amanat UU HPP pada Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN.
“Di pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 UU HPP, Pemerintah dengan persetujuan DPR RI memiliki kewenangan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12 persen karena ada ruang manuver kebijakan, di mana rentang penurunan dan kenaikan PPN ada di angka 5 persen sampai 15 persen. Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen di awal tahun 2025 mendatang,” pungkasnya. (*)