KABARBURSA.COM - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menerbitkan aturan baru terkait restrukturisasi kredit usaha rakyat (KUR). Kebijakan relaksasi restrukturisasi KUR akan tetap berpedoman pada regulasi yang telah ada.
Mahendra menjelaskan bahwa OJK sedang menunggu kriteria debitur KUR yang dapat mengajukan restrukturisasi kredit akibat dampak Covid-19. “Aturan pelaksanaan restrukturisasi sebenarnya sudah ada, tetapi penyesuaian kriteria debitur yang berhak masih menunggu keputusan pemerintah,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis 1 Agustus 2024.
Dia menambahkan bahwa OJK siap melanjutkan kebijakan restrukturisasi KUR untuk debitur terdampak Covid-19, sambil menunggu kriteria yang akan ditetapkan pemerintah. Bahkan, Mahendra mengaku belum mengetahui wacana bahwa KUR yang melakukan akad pada 2022 akan mendapatkan kebijakan tersebut, seperti yang diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Namun, Mahendra menegaskan bahwa jika kriteria debitur KUR sesuai dengan yang disampaikan oleh Airlangga, mekanisme restrukturisasi sudah dapat dilakukan dengan pengaturan yang ada. “Itu sudah masuk ke periode normal yang bisa dilakukan dengan pengaturan yang sudah ada,” tambahnya.
Mahendra juga menegaskan bahwa restrukturisasi adalah mekanisme umum dalam perbankan. Namun, OJK tetap menunggu kriteria debitur yang diusulkan pemerintah untuk mendapat relaksasi restrukturisasi kredit. “Ini yang sedang dimatangkan oleh tim Menko Perekonomian, Kemenkeu, dan Kemenkop UKM,” paparnya.
Risiko NPL
Perpanjangan restrukturisasi kredit awalnya diusulkan oleh perusahaan asuransi yang memberikan jaminan terhadap pinjaman perbankan. Menurut Airlangga, perusahaan asuransi melaporkan adanya peningkatan risiko yang berpotensi memicu kenaikan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL).
"Kami akan memeriksa dari sisi Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena ada permintaan dari pihak asuransi untuk meningkatkan jumlah cadangannya," jelas Airlangga.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai tidak ada urgensi untuk memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 yang telah berakhir pada 31 Maret 2024 lalu.
Pemerintah sebelumnya mengusulkan kepada OJK agar restrukturisasi kredit Covid-19 diperpanjang hingga tahun 2025. Menanggapi usulan tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyatakan bahwa keputusan untuk mengakhiri kebijakan restrukturisasi kredit telah melalui perhitungan yang cermat dan pertimbangan mendalam mengenai kondisi perbankan dan perekonomian nasional.
Saat OJK memutuskan untuk menghentikan relaksasi restrukturisasi kredit terdampak Covid, kami juga mempertimbangkan dampaknya terhadap kondisi perbankan dan perekonomian secara keseluruhan. Dari hasil evaluasi, kami menyimpulkan bahwa perbankan telah membentuk pencadangan yang sangat memadai, ungkap Mahendra dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Senin 8 Juli 2024.
Mahendra merinci bahwa pencadangan perbankan sudah memadai dengan coverage ratio sebesar 33,84 persen per Mei 2024. Hal ini menunjukkan bahwa perbankan secara umum telah menerapkan manajemen risiko dan kehati-hatian yang baik dalam pengelolaan kreditnya.
Pertimbangan lain, kata Mahendra, OJK juga menilai kinerja perbankan yang solid didukung oleh permodalan yang kuat. Kami menilai bahwa perbankan tidak hanya mampu mempertahankan kinerja ke depannya, tetapi juga mencapai target-targetnya, terang Mahendra.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa posisi NPL gross UMKM pada Mei 2024 tercatat stabil di level 4,27 persen, sedikit meningkat dari bulan April 2024 yang berada di level 4,26 persen.
Seiring dengan penurunan loan at risk (LaR) total kredit, LaR kredit UMKM juga mengalami penurunan menjadi 13,83 persen dari sebelumnya 14,29 persen pada April, dan dari 17,63 persen pada tahun lalu.
Penurunan Kredit Restrukturisasi Covid-19
Jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 terus mengalami penurunan. Hingga Mei 2024, tersisa sebesar Rp 192,52 triliun, ungkap Dian. Jumlah debitur yang masih menjalani restrukturisasi kredit juga menurun drastis menjadi 702.000, dari hampir 7 juta debitur pada tahun 2022.
Para bankir tidak menghadapi masalah terkait penghentian restrukturisasi kredit yang telah berakhir sejak Maret 2024. Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI), Royke Tumilaar, menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan pencabutan kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 oleh OJK.
"Kelanjutan dari kebijakan restrukturisasi relaksasi Covid, saya rasa tetap berjalan meski tidak perlu perpanjangan kebijakan. Jika debitur masih prospektif, pasti akan diberikan relaksasi mandiri dari banknya," ungkap Royke dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin 8 Juli 2024.
BNI berkomitmen untuk menjaga kualitas portofolio KUR dengan target NPL tidak melebihi 1 persen di tahun 2024.
Senada, Direktur Keuangan, Treasury, dan Global Service Bank Jatim, Edi Masrianto, mengatakan bahwa posisi NPL KUR segmen mikro per Mei 2024 masih sehat dan terkendali meskipun ada sedikit kenaikan dari tahun lalu, dari 0,56 persen di tahun 2023 menjadi 0,99 persen di tahun 2024.
"Hal ini relatif wajar mengingat penyaluran kredit BJTM di segmen mikro juga mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 71,77 persen YoY pada bulan Mei," ungkap Edi.
Meski demikian, tidak ada kondisi mendesak terkait perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19. Edi juga menyebut bahwa perpanjangan restrukturisasi tentu akan menjadi angin segar bagi industri perbankan karena memberi waktu kepada bank dan debitur untuk memperbaiki kinerjanya.
Tahun ini, Edi menyebut bahwa pihaknya telah berhasil mencapai target pertumbuhan kredit, sehingga fokus Bank Jatim adalah menjaga kualitas kredit dengan melakukan antisipasi melalui upaya selektif pada usaha debitur, khususnya di sektor ekonomi tertentu.
Bank Jatim juga melakukan pemantauan dan pendampingan terhadap usaha debitur yang mengalami hambatan serta perbaikan kualitas kredit melalui program rescheduling, reconditioning, dan penghapusan buku. (*)