Dengan perkembangan ini, sejak awal tahun 2024 hingga 27 Juni 2024, aliran modal asing keluar bersih di pasar SBN mencapai Rp36,46 triliun dan di pasar saham Rp9,78 triliun, sementara modal asing masuk bersih di SRBI mencapai Rp123,21 triliun.
Erwin juga menyampaikan bahwa premi risiko investasi atau premi credit default swaps (CDS) Indonesia untuk periode 5 tahun pada 27 Juni 2024 adalah sebesar 78,06 basis poin (bps), yang relatif stabil dibandingkan dengan 21 Juni 2024 yang sebesar 76,48 bps.
Selain itu, imbal hasil atau yield SBN Indonesia dengan tenor 10 tahun turun menjadi 7,07 persen, sedangkan imbal hasil surat utang AS atau US Treasury Note dengan tenor 10 tahun naik ke level 4,286 persen.
Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia.
Transaksi Non Residen
Bank Indonesia (BI) mencatat arus modal asing keluar (capital outflow) dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp780 miliar dalam sepekan, terhitung sejak 19 hingga 20 Juni 2024. Data ini berdasarkan transaksi non residen yang tercatat jual neto Rp0,78 triliun atau Rp780 miliar.
Aliran modal asing keluar ini didorong oleh aksi jual neto di pasar saham senilai Rp1,42 triliun. Di sisi lain, terdapat aliran modal asing masuk di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masing-masing sebesar Rp450 miliar dan Rp190 miliar.
Menurut Asisten Gubernur BI, Erwin Haryono, pergerakan modal asing ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi geopolitik yang masih tegang dan potensi resesi di Amerika Serikat (AS) menjadi faktor utama yang mendorong investor asing untuk keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kenaikan suku bunga di negara maju, seperti AS, membuat investasi di negara berkembang menjadi kurang menarik, pelemahan harga komoditas global, seperti batu bara dan minyak sawit, juga berdampak pada keluarnya modal asing dari sektor terkait di Indonesia.
Meskipun terjadi arus modal keluar, Erwin Haryono menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat dan daya tarik investasi masih tinggi. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang stabil, inflasi yang terkendali, dan neraca perdagangan yang surplus.
Untuk menjaga stabilitas dan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia, BI terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait. BI juga mengoptimalkan strategi bauran kebijakan, termasuk BI melakukan intervensi di pasar valas untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, menyesuaikan kebijakan moneternya, termasuk suku bunga, untuk menjaga stabilitas inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menerapkan kebijakan makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Selain itu, BI juga terus melakukan komunikasi dengan para pelaku pasar untuk meningkatkan kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia.
Hingga 20 Juni 2024, berdasarkan data setelmen, non residen atau investor asing tercatat jual neto Rp42,10 triliun di pasar SBN, jual neto Rp9,35 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp117,77 triliun di SRBI.
Pelemahan Kurs Rupiah
Sementara itu pada perdagangan Jumat, 21 Juni 2024, nilai tukar rupiah ditutup melemah 20 poin atau 0,12 persen ke level Rp16.450 per USD. Pelemahan ini dipengaruhi oleh sentimen negatif dari global, seperti kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan pelemahan harga komoditas.
Pelemahan terjadi setelah Bank Indonesia (BI) melalui hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis, 20 Juni 2024, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 6,25 persen. Meski sesuai ekspektasi mayoritas ekonom, namun reaksi pasar menunjukkan kekecewaan terhadap pengumuman tersebut.
Investor asing juga menunjukkan kekecewaan yang sama, terlihat dari pergerakan rupiah di pasar offshore di mana kontrak forward NDF rupiah mencatatkan rekor terlemah baru di semua jangka waktu. NDF rupiah untuk jangka waktu 1 bulan bahkan ditutup pada Rp16.507 per USD semalam di pasar New York.
Menurut analis, pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo yang menyatakan potensi penguatan rupiah di masa mendatang menuju di bawah Rp16.000 per USD didukung oleh fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, dianggap terlalu meremehkan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang dapat mengancam nilai tukar rupiah ke depan.
“Sebagai akibatnya, rupiah spot terdepresiasi 0,4 persen dan di pasar forward melemah 0,6 persen menjadi Rp16.507 per USD. Investor asing menilai bahwa BI mengabaikan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang berpotensi melemahkan rupiah,” ujar tim riset Mega Capital Sekuritas.
Pasar hari ini diprediksi akan menunjukkan reaksi terhadap keputusan BI tersebut. “Kami memperkirakan yield 10Y INDON dan INDOGB akan naik menuju rentang masing-masing 7,15-7,25 persen dan 5,10-5,20 persen. Kami juga memperkirakan yield untuk FR0100, FR0098, dan FR0097 akan naik ke rentang 7,15-7,20 persen, sedangkan FR0101 akan mencapai 7,00-7,05 persen, dan FR0086 sekitar 6,75-6,80 persen. Tekanan depresiasi akan mendominasi pergerakan nilai tukar rupiah hari ini dengan target di kisaran Rp16.450-Rp16.550 per USD,” kata Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi.