KABARBURSA.COM – Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, mengingatkan bahwa kenaikan PPN 12 persen yang diberlakukan pemerintah berpotensi meningkatkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), khususnya di sektor industri padat karya yang tengah tertekan.
Menurut Faisal, meskipun pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk sektor ini, kondisi industri padat karya sudah sangat tertekan dengan penurunan permintaan. Salah satu dampaknya adalah penurunan daya beli kelas menengah yang merupakan konsumen utama bagi produk industri padat karya, termasuk pakaian, alas kaki, dan produk tekstil lainnya.
Faisal menekankan bahwa permintaan yang terus menurun telah menyebabkan perlambatan penjualan yang signifikan, dari pertumbuhan 3,2 persen menjadi hanya 2 persen saja.
“Industri padat karya saat ini berada dalam kondisi yang sangat terjepit. Dengan kenaikan PPN 12 persen dan adanya kebijakan lain seperti kenaikan upah minimum 6,5 persen, sektor ini berisiko mengalami lebih banyak PHK,” ujar Faisal saat ditemui di Kantor CORE Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis, 19 Desember 2024.
Faisal menilai bahwa meskipun insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor ini penting, tetapi hal itu belum cukup untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan dari penurunan daya beli masyarakat, terutama di kelas menengah. Tanpa adanya langkah yang lebih efektif dan penanganan masalah permintaan, dia khawatir sektor padat karya akan semakin terpuruk.
Di sisi lain, Faisal juga menyoroti bahwa kebijakan PPN 12 persen harus diperhatikan dengan cermat agar tidak semakin memperburuk kondisi industri-industri yang sudah 'in injury' atau tertekan. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya mendukung pemulihan ekonomi yang lebih merata.
“Jika kebijakan tidak hati-hati, kita bisa melihat dampak yang lebih buruk lagi bagi lapangan pekerjaan di sektor ini. Perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada produksi barang konsumsi kelas menengah akan sangat terpengaruh,” pungkasnya.
Faisal mengingatkan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan kondisi pasar dan dampak dari kebijakan tersebut secara menyeluruh, agar tidak hanya berfokus pada aspek fiskal, tetapi juga pada kelangsungan industri dan lapangan pekerjaan di sektor padat karya.
PPN 12 Persen Resmi Berlaku 1 Januari 2025
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan diterapkan sesuai jadwal yang diatur dalam UU HPP, mulai 1 Januari 2025,” kata Airlangga dalam konferensi pers bertema ‘Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan’ di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta.
Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah. Airlangga menegaskan, barang kebutuhan pokok tetap dibebaskan dari PPN dengan fasilitas PPN 0 persen.
“Barang-barang seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, dan gula konsumsi diberikan fasilitas PPN 0 persen. Demikian juga jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, asuransi, vaksin polio, dan air bersih,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan stimulus ekonomi khusus untuk barang tertentu seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri. Airlangga menyebut, pemerintah akan menanggung 1 persen dari kenaikan tarif PPN untuk barang-barang tersebut, sehingga masyarakat hanya dikenakan tarif 11 persen.
“Pemerintah memberikan dukungan berupa stimulus untuk bahan pokok seperti minyak, tepung terigu, dan gula industri, dengan menanggung sebagian kenaikan PPN. Tarif efektifnya tetap 11 persen bagi kebutuhan tersebut,” ujar Airlangga.
Prinsip Keadilan dan Bantuan
Di kesempatan yang sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 akan mengedepankan prinsip keadilan dan gotong royong, serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat.
Menurut Sri Mulyani, kebijakan ini juga didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen untuk menjaga daya beli masyarakat agar roda perekonomian tetap bergerak di tengah tantangan global maupun domestik.
“Ekonomi kita tetap bisa berjalan meski dihadapkan pada dinamika global dan situasi dalam negeri yang terus kita waspadai,” jelasnya.
Sri Mulyani menjelaskan, prinsip keadilan diterapkan dengan membedakan kebijakan antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Kelompok mampu diwajibkan membayar pajak sesuai aturan, sedangkan kelompok tidak mampu akan dilindungi melalui bantuan pemerintah.(*)