KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diproyeksikan berada dalam tren pelemahan jangka panjang. Menurut ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, pelemahan ini didorong oleh faktor fundamental perekonomian Indonesia dan arah kebijakan moneter yang diambil oleh otoritas moneter.
“Dalam jangka pendek, memang lebih karena dinamika pasar,” ujar Awalil dalam webinar daring bertajuk "Keseimbangan Baru Nilai Tukar Rupiah" yang digelar Bright Institute, Selasa, 21 Januari 2025.
Awalil menjelaskan bahwa keterkaitan antara kebijakan fiskal dan moneter semakin erat. Namun, kondisi fiskal pemerintah saat ini dianggap tidak cukup sehat. Ruang fiskal semakin sempit, sementara kebutuhan pembiayaan, terutama melalui utang, semakin besar.
“Keinginan pemerintahan baru makin banyak, padahal beban utang dari masa lalu makin berat,” ungkap Awalil.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga memiliki porsi kepemilikan terbesar atas Surat Berharga Negara (SBN) domestik, sementara porsi penyaluran dana bank umum dalam SBN masih tinggi.
Hal ini, lanjutnya, menciptakan persaingan sumber dana antara pemerintah dan bank, yang membuat suku bunga sulit turun secara signifikan. Dana kelolaan publik, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, serta berbagai dana pensiun, juga lebih banyak disalurkan ke SBN.
Berdasarkan data BI hingga 14 Januari 2025, Awalil memaparkan, posisi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) tercatat sebesar Rp914,7 triliun. Kepemilikan nonresiden (asing) dalam SRBI mencapai Rp228,85 triliun, atau 25,02 persen dari total outstanding.
Pada 2024, nonresiden mencatat beli neto sebesar Rp15,61 triliun di pasar saham, Rp37,94 triliun di pasar SBN, dan Rp167,83 triliun di SRBI. Namun, hingga 16 Januari 2025, terjadi jual neto Rp2,63 triliun di pasar saham dan Rp0,59 triliun di pasar SBN, sementara SRBI mencatat beli neto Rp5,84 triliun.
Dalam proyeksi terbaru, mengutip Barclays, Awalil memprakirakan nilai tukar rupiah akan melemah hingga Rp16.500 per dolar AS pada kuartal pertama tahun 2025, dan berpotensi mencapai Rp16.800 per dolar AS pada akhir tahun ini. Sementara itu, berdasarkan ekonom Maybank Awalil mencatat perkiraan pelemahan hingga Rp17.000 per dolar AS pada kuartal kedua sebelum berpotensi menguat kembali ke Rp16.500 pada kuartal ketiga dan keempat 2025.
Meski demikian, kata Awalil, Bloomberg Intelligence menilai rupiah masih undervalued sebesar 9,6 persen. Hal ini memberikan peluang penguatan jika kebijakan moneter dan disiplin fiskal dapat efektif dijalankan. “Masih mungkin ke Rp15.000,” ujar Awalil, seraya menunjukkan bahwa ruang penguatan tetap terbuka.
Namun, Awalil juga memperingatkan bahwa risiko pelemahan hingga Rp17.000 tetap ada, meski potensi tersebut belum tampak jelas dalam dua bulan ke depan. Ia menilai ketahanan eksternal perekonomian Indonesia tidak terlampau lemah, namun juga belum cukup kuat menghadapi guncangan besar dari luar.
“Keterkaitan lebih erat antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal, serta kondisi industri keuangan membuat beberapa risiko mesti diwaspadai dan dimitigasi,” pungkasnya.
Rupiah Menguat Tipis
Rupiah pada penutupan perdagangan Selasa, 21 Januari 2025, mantap berada di level Rp16.343. Ini artinya, rupiah berhasil menguat sebesar 0,15 persen atau naik hingga 24 poin.
Salah satu penyebab utama penguatan rupiah ini adalah langkah Trump yang tidak langsung menerapkan kebijakan kenaikan tarif impor terhadap negara-negara seperti China, Kanada, dan Meksiko.
Kebijakan tarif impor yang tidak segera diterapkan ini membawa pengaruh besar terhadap indeks dolar AS, yang mengalami pelemahan.
Dalam pidato perdananya sebagai presiden terpilih, Trump mengisyaratkan niatnya untuk mengevaluasi kembali hubungan perdagangan AS, khususnya terkait dengan kenaikan tarif terhadap impor dari negara-negara mitra utama.
Meski begitu, Trump juga menandatangani perintah eksekutif yang mendorong kebijakan “America First”, yang menekankan kepentingan nasional AS dalam perdagangan global.
Perintah tersebut menginstruksikan lembaga-lembaga federal untuk menyelidiki praktik perdagangan yang dianggap tidak adil dan meninjau kembali perjanjian perdagangan yang ada.
Meski Trump membuka dialog positif dengan Presiden China Xi Jinping, masalah tarif perdagangan, terutama terhadap China, masih sangat mungkin terjadi. Pembicaraan antara kedua negara sempat menjadi salah satu tanda positif dalam hubungan mereka, meskipun ketegangan perdagangan tetap membayangi ke depan.
Peningkatan tarif perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia ini tentu bisa mengganggu stabilitas perdagangan global dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi. Dalam hal ini, kemungkinan adanya retaliasi dari negara-negara besar lainnya terhadap kebijakan tarif ini membuka ruang bagi terjadinya perang dagang baru.
Namun, China, yang tengah menghadapi berbagai tantangan ekonomi domestik, diprediksi akan mencari jalan keluar dengan memfokuskan pada stimulus tambahan untuk menopang pertumbuhan ekonomi mereka. Hal ini dapat mempengaruhi prospek ekonomi global, terutama dalam konteks hubungan dagang AS-China. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.