KABARBURSA.COM - Emiten di sektor ritel dinilai bakal mengalami dampak signifikan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan adanya deflasi yang melanda Indonesia pada September 2024. Laporan tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa penurunan harga secara keseluruhan dapat memengaruhi daya beli konsumen, terutama di sektor ritel.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo, mengatakan kondisi deflasi yang terjadi pada bulan September lalu memiliki potensi besar untuk mempengaruhi emiten-emiten ritel, terutama yang berfokus pada segmen menengah ke bawah.
Menurut Azis, ada dua kemungkinan dampak yang akan terjadi. Pertama, emiten yang bergerak di segmen menengah ke bawah berpotensi merasakan penurunan pendapatan akibat melemahnya daya beli konsumen. Deflasi sering kali diikuti oleh perilaku konsumen yang menunda pembelian, mengharapkan harga turun lebih lanjut, yang pada akhirnya mengganggu permintaan di pasar ritel.
"Emiten retail yang cenderung segmen kelas menengah kebawah terkena dampak," kata dia kepada KabarBursa.com, dikutip Sabtu, 5 Oktober 2024.
Sedangkan untuk emiten ritel segmen menengah ke atas, lanjut Aziz, cenderung akan lebih stabil menghadi kondisi deflasi.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, menyebut deflasi pada September 2024 terlihat lebih dalam jika dibandingkan bulan sebelumnya. Adapun kelompok pengeluaran deflasi terbesar adalah makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,59 persen dan memberikan andil deflasi sebesar 0,17 persen.
Amalia menuturkan, deflasi pada September 2024 didorong oleh komponen bergejolak dan harga diatur pemerintah. Komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 1,34 persen.
“Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, dan tomat,” ujar Amalia saat konferensi pers, Selasa, 1 Oktober 2024.
Sementara komponen harga diatur pemerintahan, lanjut Amalia, mengalami deflasi sebesar 0,04 persen dengan andil deflasi sebesar 0,01 persen. Adapun komoditas yang berandil memberikan deflasi pada komponen harga diatur pemerintah adalah bensin.
“Sebanyak 24 dari 38 provinsi Indonesia mengalami deflasi sedangkan 14 lainnya mengalami inflasi. Deflasi terdalam sebesar 0,92 persen terjadi di Papua barat sementara inflasi tertinggi terjadi di Maluku utara sebesar 0,56 persen,” jelas Amalia.
Kinerja Saham Ritel pada Penutupan Perdagangan Kemarin
Pada Jumat, 4 Oktober 2024, sejumlah saham ritel menutup perdagangan dengan catatan yang kurang memuaskan. Beberapa emiten ritel berada di zona merah pada penutupan perdagangan kemarin.
Mengutip RTI Business, PT Mitra Adi Perkasa (MAPI) misalnya, yang ditutup melemah di level 1655 atau turun -75 poin atau -4,34 persen.
Pun dengan PT Aspirasi Hidup Indonesia (ACES) yang menutup perdagangan dengan bertengger di posisi 860 atau turun sebanyak -1,71 persen.
Sementara itu PT Erajaya Swasembada (ERAA) mengalami kondisi serupa dengan menempati level 436 atau turun -18 poin.
Namun di sisi lain, terdapat pula saham ritel yang menutup perdagangan akhir pekan ini dengan berada di zona hijau. Seperti PT Hero Supermarket (HERO) yang berada di level 660, naik +5 poin atau +0,76 persen.
PT Midi Utama Indonesia (MIDI) juga menutup perdagangan di zona hijau setelah menempati level 454 atau naik sebesar +10 poin (+2,25 persen).
Sebelum diumumkannya deflasi lima bulan beruntun ini, emiten ritel sejatinya baru mendapat angin setelah suku bunga acuan dipangkas Bank Indonesia.
BI Rate Dipangkas, Dongkrak Pertumbuhan Sektor Ritel
Seperti diberitakan beberapa waktu lalu, Pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen tak hanya disambut positif oleh sektor perbankan dan properti, tetapi juga diyakini akan mendongkrak pertumbuhan sektor ritel. Penurunan ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan daya beli mereka, terutama di tengah konsumsi domestik yang terus menunjukkan tren positif.
Analis Pasar Modal yang juga Senior Investment Information Mirae Asset, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama, mengatakan sektor ritel, baik cyclicals maupun non-cyclicals, akan mendapatkan keuntungan dari kebijakan pelonggaran moneter tersebut.
"Semua sektor sebenarnya akan dipengaruhi atau mereka mendapatkan benefit dari reducing it’s borrowing cost (mengurangi biaya pinjaman),” ujarnya kepada Kabarbursa.com, Jumat, 20 September 2024.
Selain itu, penurunan suku bunga ini diyakini akan memperkuat permintaan di segmen ritel teknologi, mengingat semakin tingginya ketergantungan konsumen pada produk-produk teknologi untuk mendukung aktivitas sehari-hari.
“Tentunya ini akan memberikan katalis positif terhadap emiten-emiten ini,” kata Nafan, merujuk pada peningkatan permintaan di sektor properti dan ritel.
Peningkatan konsumsi domestik dipandang sebagai salah satu pilar utama yang dapat menggerakkan ekonomi di tengah pelonggaran moneter ini.
Menurut Nafan, kebijakan ini tidak hanya mereduksi biaya pinjaman, tetapi juga menciptakan efek domino yang positif di berbagai sektor. “Permintaan di sektor properti baik itu KPR atau KPA akan meningkat signifikan karena dipengaruhi oleh strong domestic consumption yang berkaitan dengan daya beli masyarakat kita,” katanya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.