KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) bersama otoritas keuangan dari negara-negara Asia Timur dan Pasifik membahas tantangan dan perkembangan terkini di sektor keuangan, termasuk pengawasan perbankan, dalam pertemuan Executives' Meetings of East Asia Pacific Central Banks (EMEAP) Working Group On Banking Supervision (WGBS) ke-56.
Pertemuan ini digelar pada 29-30 Agustus 2024 di Bali, dengan BI sebagai Ketua EMEAP untuk periode 2024-2026.
"Kerja sama EMEAP WGBS bertujuan mendorong sinergi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, inovasi kebijakan, dan penguatan praktik pengawasan perbankan," kata Deputi Gubernur BI Juda Agung di Jakarta, Senin 2 September 2024.
Diskusi pada pertemuan ini menyoroti beberapa tema utama, termasuk digitalisasi keuangan, transisi keuangan hijau, perkembangan pengaturan Basel Core Principle, serta keamanan siber. Dari pertemuan tersebut, dihasilkan berbagai inisiatif utama di tiga area: keuangan berkelanjutan, kebijakan makroprudensial, dan upaya pemulihan perbankan.
Para peserta juga menyepakati rencana pengembangan kapasitas otoritas keuangan, dengan fokus pada manajemen risiko dan digitalisasi sektor keuangan sebagai bagian dari rencana tindak lanjut kolaborasi anggota EMEAP WGBS di masa mendatang.
Juda Agung menekankan bahwa lanskap sistem keuangan global saat ini mengalami evolusi signifikan, terutama karena kemajuan pesat dalam digitalisasi dan transisi keuangan hijau. Perkembangan ini, meskipun menawarkan potensi besar, juga membawa kerentanan yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, respons kebijakan dan praktik pengawasan harus diadaptasi secara tepat dan efektif.
Dalam hal digitalisasi, regulator perlu mendorong inovasi sambil memastikan pengelolaan risiko yang memadai, termasuk keamanan siber. Untuk transisi keuangan hijau, diperlukan inisiatif kolaboratif dengan sektor industri, termasuk pengungkapan berkelanjutan, penyediaan data, dan penguatan sinergi antar otoritas keuangan.
Diskusi juga menekankan pentingnya intelijen risiko siber yang efektif dalam menjaga ketahanan sistem keuangan. Bank Indonesia telah mengembangkan kerangka kerja keamanan dan ketahanan siber yang terdiri dari tiga pilar: tata kelola, pencegahan, dan penanganan, sebagai pedoman bagi sektor keuangan untuk mencegah serangan siber.
"Pilar-pilar ini didukung oleh pengawasan dan kolaborasi yang berkelanjutan untuk memastikan setiap kerentanan dalam sistem sektor keuangan dapat diidentifikasi dan ditangani secepatnya," tambah Juda.
Anggota EMEAP WGBS yang hadir dalam pertemuan ini mencakup berbagai otoritas keuangan dari negara-negara seperti Australia, China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Penurunan Suku Bunga
Bank-bank sentral di Asia mungkin akan perlu mempertimbangkan kembali kemungkinan penurunan suku bunga yang lebih rendah atau bahkan tidak ada sama sekali pada tahun ini. Ini disebabkan oleh laju inflasi di Amerika Serikat (AS) yang membuat pelaku pasar mengubah pandangan mereka terhadap pelonggaran moneter di negara adikuasa tersebut.
Data inflasi AS yang dirilis kemarin menunjukkan angka yang melebihi perkiraan selama tiga bulan berturut-turut. Akibatnya, investor mulai mempertimbangkan bahwa Federal Reserve AS mungkin hanya akan menurunkan suku bunga acuannya sekali saja dalam tahun ini. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter yang lebih ketat atau stabil mungkin akan lebih diutamakan daripada stimulus tambahan. Dalam konteks ini, bank-bank sentral di Asia perlu memperhitungkan dampak potensial dari kebijakan moneter yang lebih ketat di AS terhadap ekonomi dan pasar keuangan regional.
Pada akhir Maret, pasar masih memperkirakan Federal Funds Rate bisa turun 4 kali.
“Bank -bank sentral di Asia harus mempertimbangkan perbedaan suku bunga dan risiko penguatan dolar AS akan berlangsung lebih lama. Ini berlangsung saat harga minyak sedang tinggi. Jadi, syarat untuk menurunkan suku bunga makin banyak,” papar Sonal Verma, Kepala Ekonom untuk India dan Asia (kecuali Jepang) di Nomura Holdings Co.
Menurut Verma, Indonesia menjadi negara yang “paling sensitif” terhadap arah kebijakan The Fed. Disusul oleh Korea Selatan.
Nomura memperkirakan suku bunga acuan akan turun 50 basis poin (bps) di Thailand, Indonesia, dan Filipina pada tahun ini. Awalnya, penurunan suku bunga diperkirakan mencapai 100 bps.
Bum Ki Son dari Barclays Bank Plc melihat ada risiko Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan, jika rupiah terus melemah dan bertahan di atas Rp16.000/USD. Kim menilai “peluang yang sangat kecil” bagi bank sentral Filipina, Singapura, dan Malaysia untuk menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat.
Bagi Australia dan Selandia Baru, perubahan sikap pasar terkait arah Federal Funds Rate menegaskan ekspektasi bahwa suku bunga akan bertahan di level tinggi dalam waktu lama (higher for longer).
Kepala Ekonom Royal Bank of Canada cabang Australia Su-Lin Ong sudah lama menegaskan bahwa dirinya memperkirakan bank sentral RBA akan menjadi bank sentral besar terakhir yang menurunkan suku bunga acuan. Dalam risetnya, Ong menyatakan ada risiko siklus pelonggaran moneter RBA akan dimulai terlambat.
“Pelaku pasar sudah mempertimbangkan hal ini. Kami memperkirakan siklus pelonggaran moneter RBA akan dimulai pada 2025,” sebutnya.
Prashant Newnaha, pengamat suku bunga senior yang berbasis di Singapura, menyebut tidak banyak yang bisa dilakukan bank sentral di kawasan untuk mengatasi tren penguatan dolar dan inflasi AS yang tinggi.
“Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali meredam laju depresiasi mata uang. Namun, kondisi fundamental tidak menjamin mereka bisa melakukannya,” tegas dia.(*)