KABARBURSA.COM - Goldman Sachs memproyeksikan bahwa euro bisa melemah hingga 10 persen, bahkan turun di bawah USD1, jika Donald Trump menerapkan kebijakan tarif yang luas dan memangkas pajak domestik apabila memenangkan Pemilihan Presiden AS pada 5 November mendatang.
Saat ini, Trump dari Partai Republik tengah bersaing ketat dengan Wakil Presiden dari Partai Demokrat, Kamala Harris. Namun, Goldman menilai kebijakan ekonomi radikal Trump berpotensi memberikan dampak yang lebih besar terhadap Eropa, salah satu mitra dagang utama Amerika Serikat dan Tiongkok.
Mengutip Reuters, Rabu 23 Oktober 2024, Goldman Sachs menyatakan bahwa skenario kemenangan Partai Republik dalam pemilu presiden dan kongres dapat memicu kenaikan tarif impor yang signifikan serta pemangkasan pajak domestik, yang akan berfungsi sebagai stimulus bagi ekonomi AS.
Analis Goldman Sachs, Michael Cahill, dalam catatannya menjelaskan bahwa penerapan tarif sebesar 10 persen pada semua impor AS dan tambahan 20 persen untuk produk Tiongkok, bersamaan dengan pemotongan pajak, bisa mendorong penguatan tajam dolar, sehingga menekan euro hingga melemah 8 persen hingga 10 persen. Saat ini, euro diperdagangkan di angka $1,083, dan terakhir kali berada di bawah paritas pada November 2022.
"Dampak dari langkah-langkah ini kemungkinan akan memicu inflasi, yang kemudian mengindikasikan suku bunga yang lebih tinggi di AS dibandingkan dengan Eropa, sehingga membuat dolar lebih menarik," jelas Cahill.
Ia juga menambahkan bahwa jika Trump hanya memperluas tarif pada Tiongkok dalam skenario perang dagang yang lebih terbatas, euro masih berpotensi melemah sekitar 3 persen. Di sisi lain, kemenangan Demokrat yang telak atau pemerintahan Demokrat yang terpecah kemungkinan besar akan memicu pelemahan awal dolar, karena pasar menyesuaikan kembali dengan prospek perubahan tarif yang lebih moderat.
Trump Dinilai Tidak Stabil
Tim kampanye Kamala Harris menyatakan bahwa Donald Trump tidak layak memimpin Amerika Serikat (AS). Hal ini menyusul penampilannya yang dinilai tidak stabil di acara amal Al Smith di New York pada Kamis, 17 Oktober 2024, malam lalu.
“Donald Trump kesulitan membaca naskah yang disiapkan oleh timnya dan berkali-kali mengeluh tidak bisa menggunakan teleprompter,” ujar juru bicara kampanye Harris, Ammar Moussa, dikutip dari Huffpost, Sabtu, 19 Oktober 2024.
“Dia terbata-bata saat berbicara dan marah ketika penonton tidak tertawa dengan leluconnya,” imbuhnya.
Menurut Moussa, saat Trump berbicara tanpa teks, ia sering melantur dengan ucapan yang tidak jelas dan mengingatkan publik betapa tidak stabilnya dia. “Seperti biasa, dia membuat segalanya tentang dirinya sendiri. Dia mungkin menolak untuk merilis rekam medisnya, tapi setiap hari dia menunjukkan kepada rakyat Amerika bahwa dia tidak layak memimpin,” katanya.
Dalam acara tahunan Alfred E. Smith Memorial Foundation Dinner, yang menggalang dana untuk amal Katolik, Trump menerima tanggapan beragam atas lelucon yang disampaikannya. Di salah satu momen, ia menyindir perselingkuhan yang pernah dilakukan suami Harris, Doug Emhoff, dalam pernikahan sebelumnya.
Trump bahkan menyebut penulis naskahnya bodoh setelah lelucon itu tidak diterima baik dan memicu keluhan dari hadirin. Trump juga mengejek Harris dengan mengatakan ia memiliki daya pikir anak kecil dan meremehkan kemampuan kognitif Presiden Joe Biden. Ia kembali mengulangi tuduhan bahwa Biden, yang berusia 81 tahun, mengalami penurunan kognitif.
Pernyataan tim Harris mencoba memperbesar kekhawatiran soal kesehatan dan kondisi mental Trump, terutama ketika mantan presiden itu berusaha kembali merebut Gedung Putih.
Seperti Biden, Trump yang kini berusia 78 tahun juga menjadi sorotan terkait usianya menjelang pemilihan November. Jika menang, dia akan menjadi presiden tertua yang pernah terpilih. Meski demikian, Trump tetap mengejek Harris yang absen dari acara Kamis malam, sebuah penyimpangan dari tradisi kandidat presiden yang biasanya hadir.
Di sisi lain, Trump sendiri belakangan menarik diri dari beberapa wawancara profil tinggi, yang menurut salah satu penasihatnya dikarenakan kelelahan.
Sekretaris pers nasional kampanye Trump, Karoline Leavitt, membantah klaim tersebut dalam pernyataan kepada Politico. Ia menyatakan Trump “mengalahkan Kamala Harris di jalur kampanye.”
Pertarungan di Swing States
Pemilihan presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) tinggal menghitung hari, kurang dari tiga pekan lagi. Siapa pun yang menang, baik Kamala Harris maupun Donald Trump, akan memimpin negara dengan populasi 330 juta jiwa. Namun, yang menarik, hasil Pilpres AS tahun ini bisa jadi diputuskan oleh hanya puluhan ribu pemilih di beberapa negara bagian kunci atau swing states.
Mengutip Reuters, survei publik menunjukkan hanya ada tujuh dari 50 negara bagian yang benar-benar kompetitif kali ini, sementara negara bagian lainnya sudah dikuasai oleh Partai Demokrat atau Republik. Swing states, yang sering disebut medan pertempuran suara, berperan besar dalam menentukan hasil pemilu nasional karena tidak ada partai yang mendominasi dukungan di wilayah-wilayah ini.
Tahun ini, tujuh negara bagian yang menjadi pusat perhatian adalah Arizona, Georgia, Michigan, Nevada, North Carolina, Pennsylvania, dan Wisconsin. Di antara ketujuh negara bagian ini, Pennsylvania menjadi medan pertempuran paling krusial yang bisa menentukan apakah Kamala Harris dari Demokrat atau Donald Trump dari Republik yang akan duduk di kursi presiden.
Strategi kampanye kedua kandidat menunjukkan fokus mereka pada swing states ini, dengan sebagian besar anggaran iklan dan acara kampanye terpusat di tujuh wilayah tersebut. Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin sebelumnya dikenal sebagai “benteng biru” Demokrat selama beberapa dekade. Namun, kemenangan tipis Trump di ketiga negara bagian itu pada 2016 mengantarnya ke Gedung Putih. Ini mengejutkan banyak pihak yang memperkirakan Hillary Clinton akan menang.
Empat tahun kemudian, Joe Biden berhasil membalik keadaan dengan merebut kembali Michigan, Wisconsin, dan Pennsylvania untuk Demokrat. Selain itu, dia juga mencetak kemenangan tak terduga di Georgia dan Arizona, yang secara tradisional menjadi basis kuat Partai Republik.
Sejumlah survei menunjukkan Kamala Harris unggul tipis dari Trump. Jajak pendapat terbaru dari Reuters/Ipsos mencatat Harris unggul tipis tiga persen, dengan 45 persen suara dibandingkan Trump yang mendapat 42 persen. Begitu juga dalam survei nasional 538/ABC News, Harris unggul dengan 49 persen, sementara Trump mengumpulkan 46 persen.(*)