KABARBURSA.COM – Harga minyak mentah nyaris tak bergerak banyak pada perdagangan Selasa, 27 Mei 2025. Di satu sisi, kekhawatiran perang dagang mereda. Di sisi lain, pelaku pasar masih menahan napas menanti keputusan OPEC+ soal rencana kenaikan produksi yang akan dibahas akhir pekan ini.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Selasa, kontrak berjangka minyak Brent naik 26 sen atau 0,4 persen ke posisi USD65 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) naik 25 sen ke USD61,78 per barel pada pukul 16.20 WIB.
Analis UBS, Giovanni Staunovo, mengatakan meredanya isu tarif perdagangan memang memberi ruang penguatan harga, tetapi potensi kenaikannya masih terbatas sampai keputusan resmi dari OPEC+ diumumkan. “Kuncinya ada di hari Sabtu, kita tunggu keputusan mereka,” ujarnya.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya—dikenal sebagai OPEC+—dijadwalkan menggelar pertemuan penting untuk memfinalisasi rencana produksi bulan Juli. Sumber internal menyebut, produksi kemungkinan akan dinaikkan sebanyak 411 ribu barel per hari.
Namun, per Senin kemarin, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak menyatakan bahwa pembahasan soal peningkatan produksi belum resmi dibuka. Rapat final kuota produksi dijadwalkan berlangsung daring pada 28 Mei, dan delapan negara anggota yang sebelumnya berjanji melakukan pemangkasan tambahan secara sukarela dijadwalkan bertemu sehari setelahnya, 31 Mei.
Sementara itu, langkah Presiden AS Donald Trump yang memperpanjang tenggat waktu perundingan dagang dengan Uni Eropa hingga 9 Juli memberikan napas segar ke pasar. Kekhawatiran soal tarif yang berpotensi menekan permintaan bahan bakar pun sedikit mereda.
Analis PVM, Tamas Varga, menyebut kombinasi komentar dari Rusia dan penundaan tarif oleh Trump jadi bantalan harga minyak. “Ini bantu harga tetap di level sekarang meski sentimen kelebihan pasokan belum hilang,” katanya.
Dari sisi geopolitik, Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyampaikan negaranya siap bertahan meski negosiasi nuklir dengan Amerika Serikat gagal mencapai kesepakatan. Jika pembicaraan gagal, sanksi AS terhadap Iran kemungkinan berlanjut—dan itu berarti pasokan minyak Iran tetap terbatas, yang secara teori akan menopang harga di pasar global.
JP Morgan: Harga Minyak Bisa Terus Longsor sampai 2026
Meski harga minyak sempat tersenyum tipis karena mencairnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, JP Morgan ogah ikut larut dalam euforia. Lembaga riset asal Wall Street itu justru tetap memproyeksikan tren harga minyak akan terus melandai dalam dua tahun ke depan.
Dalam riset terbarunya, JP Morgan memperkirakan harga minyak Brent hanya akan bertengger di kisaran USD66 per barel pada 2025 dan makin turun ke USD58 per barel di 2026. Proyeksi ini disebut tak bergeser sedikit pun, meski pasar sedang diramaikan optimisme atas jeda perang tarif dua raksasa ekonomi dunia.
Kepala Strategi Komoditas Global JP Morgan, Natasha Kaneva, menyebut bahwa sentimen pasar belum cukup kuat untuk mendongkrak harga kembali ke era USD70-an. Ia menilai, arah kebijakan Presiden Donald Trump justru cenderung menjaga harga minyak tetap rendah sebagai strategi meredam inflasi jelang pemilu.
“Memang ada pandangan bahwa pernyataan damai dagang dan pergeseran kebijakan dari tarif ke pajak dan deregulasi bisa mendorong harga kembali ke level menengah USD70-an. Tapi kami melihat, untuk sektor energi, ‘Trump put’ tidak berlaku,” kata Kaneva dalam laporan yang dikutip dari laman JP Morgan.
Trump, menurut JP Morgan, justru secara terang-terangan ingin menjaga harga minyak di kisaran USD50 atau lebih rendah—yang ia nilai penting untuk mendukung stabilitas domestik. Selama harga belum turun ke bawah USD50 per barel jenis WTI—yang disebut sebagai titik kritis produksi shale oil AS—pemerintah diperkirakan tak akan intervensi.(*)