KABARBURSA.COM - Ekonom mengemukakan bahwa intervensi valuta asing yang dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kemungkinan akan berdampak negatif terhadap likuiditas bersih dalam sistem keuangan. Pada perdagangan di pasar spot, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hingga mencapai level Rp15.963/US$ pada pukul 09:05 WIB. Rupiah juga mencatat pelemahan terdalam di kawasan Asia pagi ini, dengan kehilangan 0,42 persen dari posisi penutupan hari sebelumnya.
"Kami tetap berpandangan bahwa intervensi valuta asing yang terus-menerus untuk mendukung rupiah tidak akan berkelanjutan, dan kebijakan seperti itu akan menimbulkan dampak negatif terhadap likuiditas bersih dalam sistem keuangan," ujar Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dalam hasil risetnya, dikutip Selasa 2 April 2024.
Namun demikian, BI nampaknya mengambil pandangan yang berbeda. Dia memperkirakan intervensi valuta asing yang lebih besar berpotensi terus berlangsung dalam beberapa bulan mendatang, yang merupakan periode lemah musiman bagi rupiah.
Fakta bahwa cadangan devisa BI turun pada Januari dan Februari, menyusul lonjakan berturut-turut pada November dan Desember, merupakan indikasi yang jelas bahwa intervensi mata uang kembali masuk dalam strategi BI.
"Sinyal yang lebih penting tapi halus di sini adalah partisipasi aktif bank sentral yang luar biasa di pasar obligasi sekunder, dengan BI mencatatkan pembelian bersih sebesar Rp33,5 triliun di pasar obligasi pemerintah," papar Satria.
Program pembelian obligasi, menurut dia, bisa menjadi langkah sterilisasi likuiditas untuk menyuntikkan kembali rupiah ke pasar setelah terkuras dalam pertukaran rupiah-ke-dolar AS dalam tindakan intervensi Valas. Dengan kata lain, semakin banyak obligasi yang dibeli BI, semakin banyak dolar AS yang dimilikinya menghabiskan uang di pasar Valas untuk mempertahankan rupiah.
Rupiah spot dibuka langsung ambles ke Rp15.963/US$ pada pukul 09:05 WIB, menjadi valuta Asia dengan pelemahan terdalam di kawasan pagi ini, kehilangan 0,42 persen nilai dari posisi penutupan hari sebelumnya. Level itu adalah posisi rupiah terlemah sejak April 2020 ketika pandemi Covid-19 merebak dan akhirnya membawa rupiah melampaui Rp16.000/US$. Level terlemah rupiah sepanjang masa terjadi pada 23 Maret 2020 yaitu di Rp16.310/US$.
Mayoritas mata uang Asia pagi ini tenggelam tertekan oleh penguatan tiba-tiba dolar AS akibat sentimen data manufaktur AS yang mengikis peluang penurunan bunga acuan Federal Reserve tahun ini karena kekhawatiran akan terjadinya lonjakan inflasi lagi di negeri itu. Indeks dolar AS masih bertahan perkasa di 105,039 pagi ini. Sementara di belakang rupiah, mata uang Asia lain juga melemah cukup besar. Ringgit Malaysia turun 0,38 persen, lalu won Korea Selatan dan dolar Taiwan juga melemah 0,29 persen. Disusul oleh baht Thailand yang melemah 0,24 persen, lalu peso Filipina 0,18 persen.
Bank Indonesia sudah angkat bicara menilai pelemahan rupiah beberapa waktu belakangan ini sebagian besar adalah dampak dari pelemahan yuan China. Pada saat yang sama, permintaan valas di pasar domestik tengah meningkat sejurus dengan musim pembagian dividen dan masih kuatnya arus keluar modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
"Rupiah lumayan agak tertekan dari kemarin kelihatannya rupiah banyak terdampak dari pelemahan CNY [yuan China]. Sementara dari domestik ada permintaan USD (dolar AS) terkait repatriasi dan masih outflow-nya asing di pasar SBN. Rilis data inflasi Indonesia kemarin yang di atas ekspektasi yang banyak disebabkan oleh volatile food, ikut mendorong pelemahan rupiah," kata Edi Susianto, Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Sekuritas Bank Indonesia, pagi ini, Selasa 2 April 2024.