KABARBURSA.COM- Proyeksi menunjukkan bahwa utang pemerintah Indonesia dapat mencapai angka fantastis, yakni Rp10 ribu triliun, pada akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Beban utang ini nantinya akan menjadi tanggung jawab presiden penggantinya.
Wakil Rektor II Universitas Paramadina, Handi Risza, menggambarkan tren peningkatan utang pemerintah dan beban bunganya sebagai 'besar pasak dari tiang'.
"Pada awal kepemimpinan Jokowi, utang negara berada di kisaran5atanya Senin (5/2/2024)
"Bahkan jika kita gabungkan dengan utang BUMN, nilainya bisa saja mencapai Rp10 ribu triliun. Ini merupakan warisan dari pemerintahan Jokowi yang harus ditanggung oleh pemerintahan baru, siapapun yang terpilih," Lanjut Handi.
Menanggung beban utang sebesar ini diprediksi tidak akan mudah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbebani setiap tahunnya untuk membayar pokok utang dan bunganya sekitar Rp500 triliun. "Ini menjadi satu beban negara yang sangat besar, apalagi belanja kita hanya sekitar Rp3.000 triliun pada 2024. Sekitar Rp500 triliun itu sudah kita alokasikan untuk membayar bunga utang," kata Handi.
Handi menekankan bahwa kenaikan utang seharusnya diimbangi dengan peningkatan kemampuan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan. Namun, penerimaan negara, terutama dari pajak, masih stagnan selama bertahun-tahun.
Pada 2014, penerimaan negara sekitar Rp1.500 triliun, meningkat menjadi Rp2.600 triliun pada 2023. Namun, peningkatan ini jauh tertinggal dibandingkan dengan lonjakan utang pemerintah.
"Dalam 10 tahun terakhir, terjadi kenaikan 100 persen penerimaan negara, tetapi peningkatan utang kita jauh lebih tinggi, hampir 400 persen," tegasnya.
Meskipun Kementerian Keuangan meyakini bahwa utang pemerintah yang mencapai Rp8 ribu triliun masih dalam batas aman, beberapa pihak menunjukkan keprihatinan terhadap besarnya beban utang yang harus dihadapi oleh pemerintahan selanjutnya. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus meningkat menjadi fokus perhatian dalam menilai keberlanjutan ekonomi.