KABARBURSA.COM - Platform X milik Elon Musk mulai tidak bisa diakses di Brasil atas perintah pengadilan tertinggi negara itu. Brasil, raksasa Amerika Latin, kini menjadi ajang pertarungan baru dalam konflik global mengenai regulasi kebebasan berbicara di internet.
Begitu situs tersebut mati, para politisi buru-buru mengeluarkan reaksi mereka terhadap upaya pengadilan yang mencoba mengendalikan konten sebelum akses hilang sepenuhnya. Selebriti pun berbondong-bondong mengarahkan pengikut mereka ke platform lain, sementara pakar hukum internet ramai-ramai menuliskan opini—termasuk di postingan X yang segera lenyap mengenai dampak jangka panjang dari keputusan ini.
Dari sekitar 20 juta pengguna X di Brasil negara dengan jumlah pengguna internet terbesar kelima di dunia banyak yang terpaksa berpindah ke platform lain setelah Mahkamah Agung mengeluarkan perintah penangguhan segera pada Jumat 30 Agustus 2024 malam. Hal ini terjadi karena Elon Musk, sang taipan, menolak menunjuk perwakilan hukum untuk jejaring sosialnya di Brasil.
Pada Sabtu 31 Agustus 2024, pertanyaan utamanya adalah apakah Musk akan tunduk pada perintah tersebut. Sinyal awal dari orang terkaya di dunia itu menunjukkan serangan terhadap Hakim Agung Alexandre de Moraes, yang mengeluarkan keputusan tersebut dan menjadi tokoh sentral dalam konflik besar terkait sejauh mana pemerintah dapat mengontrol media sosial.
Dalam sebuah pernyataan pada Sabtu, Musk menyebut Moraes sebagai diktator yang memiliki kekuasaan eksekutif, yudisial, dan legislatif tertinggi.
Masih belum jelas sejauh mana pemblokiran X akan berlangsung. Ribuan pengguna melaporkan masalah ke Downdetector—situs yang melacak gangguan layanan—dengan lonjakan keluhan yang tercatat setelah tengah malam dan terus berlanjut sepanjang hari. "Maaf, ada yang salah," demikian pesan dari X kepada penggunanya.
Hingga Jumat malam, platform Bluesky melaporkan adanya 500.000 pendaftaran baru dari Brasil dalam kurun waktu 48 jam, termasuk banyak politisi sayap kiri terkenal di negara tersebut. Pemblokiran ini juga berdampak besar bagi ribuan kandidat, terutama dari kalangan konservatif, yang kehilangan alat kampanye menjelang pemilu daerah pada Oktober mendatang di lebih dari 5.000 kotamadya Brasil.
Thaynara Oliveira Gomes, seorang influencer dengan lebih dari satu juta pengikut di X, menyampaikan melalui pesan teks, "Sangat disayangkan kehilangan platform ini karena begitu populer di Brasil."
Amerika Serikat mungkin memiliki perlindungan kebebasan berbicara yang kuat, namun banyak negara lain mengambil langkah agresif untuk menuntut perusahaan lebih bertanggung jawab atas konten online mereka. Prancis, misalnya, baru-baru ini mendakwa CEO Telegram Pavel Durov atas tuduhan mengizinkan aktivitas kriminal melalui aplikasi pesan tersebut. Di Brasil, Moraes memimpin penyelidikan luas terhadap ujaran kebencian yang ia anggap membahayakan demokrasi.
Menurut Clara Iglesias Keller, peneliti di Pusat Ilmu Sosial WZB Berlin, "Ini adalah babak baru untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan teknologi di negara ini. Namun, kasus ini memiliki tingkat visibilitas yang berbeda."
Pujian atau kecaman terhadap pemblokiran tersebut sebagian besar terbelah berdasarkan afiliasi politik. Kaum konservatif telah lama mengecam Moraes karena menyerang kepentingan mereka, sementara pendukung Presiden Luiz Inacio Lula da Silva sering memuji hakim tersebut atas upayanya "membersihkan" internet.
Gleisi Hoffmann, presiden Partai Pekerja Lula, menyebut Musk sebagai "playboy manja, angkuh, dan arogan" dalam sebuah postingan di Instagram pada Jumat. Dia mengkritik Musk yang dianggap berupaya campur tangan dalam kedaulatan negara-negara Amerika Selatan.
Banyak akun yang diperintahkan Moraes untuk dihapus oleh X adalah milik pendukung mantan Presiden Jair Bolsonaro, yang kerap menggunakan platform tersebut untuk menyebarkan klaim tidak berdasar mengenai kekalahan pemilu pada 2022 dan memuji para perusuh yang menyerbu ibu kota dengan alasan palsu bahwa Lula mencuri suara.
Langkah terbaru Moraes ini memperpanjang daftar tuduhan sensor terhadap politisi sayap kanan yang sangat bergantung pada media sosial untuk berkomunikasi dengan para pendukung mereka. Meskipun ada seruan untuk memberhentikan hakim tersebut, upaya ini sejauh ini belum mendapatkan dukungan kuat di Kongres.
"Alexandre de Moraes menyamakan kita dengan negara-negara seperti Iran, Korea Utara, dan China dengan melarang X," kata Julia Zanatta, seorang legislator konservatif yang kritis terhadap Moraes, dalam sebuah pernyataan. "Kita sudah resmi menjadi kediktatoran."
Perintah Moraes kemungkinan harus melalui sidang pleno pengadilan, meskipun pengamat politik menyebut kecil kemungkinan keputusan ini dibatalkan. Banyak pengguna internet di Brasil khawatir dengan ancaman denda harian sebesar 50.000 reais (sekitar Rp138 juta) bagi siapa pun yang menggunakan VPN untuk mengakses X.
Beberapa jam setelah keputusan awalnya, Moraes mengubah arahannya ke toko aplikasi untuk menghapus VPN. Namun, beberapa pakar digital tetap khawatir tentang dampak jangka panjang dari perintah tersebut bagi kebebasan internet di Brasil.
Carlos Affonso Souza, kepala Institut Teknologi & Masyarakat di Universitas Negeri Rio de Janeiro, menyebut keputusan ini sebagai "keputusan yudisial paling ekstrem yang pernah kita alami dalam 30 tahun sejarah internet di Brasil." (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.