KABARBURSA.COM - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 dinilai akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, meminta pemerintah untuk memikirkan rencana kenaikan PPN 12 persen.
Hal tersebut bukan tanpa alasan karena menurut Bhima, kenaikan PPN tersebut bisa mengancam pertumbuhan ekonomi.
"Pemerintah harus memikirkan rencana menaikkan tarif PPN 12 persen yang mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga," kata Bhima kepada Kabar Bursa, Selasa, 12 Maret 2024.
Di sisi lain, Bhima juga meminta agar kenaikan PPN tersebut dibarengi dengan perluasan objek pajak. Menurutnya, menaikkan tarif pajak sama seperti sedang berburu di kebun binatang.
"Kalau mau dorong rasio pajak, perluas dong objek pajaknya, bukan mengutak-atik tarif. Menaikkan tarif pajak itu sama dengan berburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif," ucapnya.
Selain itu, kata Bhima, rencana menaikkan tarif PPN sebesar 12 persen pada 2025 merupakan tarif yang sangat tinggi.
"Kenaikan tarif PPN 12 persen itu kalau diakumulasi dalam empat tahun terakhir sebenarnya naiknya 20 persen bukan dua persen. Ini kenaikan tarif PPN yang sangat tinggi," kata Bhima.
Bhima khawatir kenaikan tersebut berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Apalagi, lanjut dia, kelas menengah baru saja dihantam kenaikan harga beras, suku bunga tinggi, hingga sulitnya mencari pekerjaan.
"Kelas menengah sudah dihantam harga beras, suku bunga tinggi, sulit mencari pekerjaan, sekarang ditambah lagi penyesuaian tarif PPN 12 persen. Khawatir belanja masyarakat bisa turun," ujar dia.
Tak hanya itu, Bhima juga mengkhawatirkan penjualan produk sekunder bisa melambat akibat kenaikan PPN tersebut.
"Penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, rumah, bisa melambat," jelasnya. (yog/adi)