KABARBURSA.COM - Krisis pangan akibat eskalasi konflik di Timur Tengah antara Iran dan Israel perlu diantisipasi, menurut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Prof. Bustanul Arifin.
"Perang Iran Israel ini bisa menyebabkan krisis. Poin saya warning-nya begitu," ujarnya dalam diskusi Universitas Paramadina-INDEF bertajuk "Dampak Kebijakan Ekonomi Politik di Tengah Peran Iran Israel", Senin, 22 April 2024.
Beras, sambung Bustanul, menjadi salah satu komoditas yang sensitif, khususnya pada tingkah laku anomali di global. Ketika El Nino melanda dunia, harga beras melebihi USD630 per ton untuk beberapa jenisnya.
"Harga itu lebih tinggi jika dibandingkan krisis pangan global tahun 2008. Jadi tidak main-main ketika konflik Iran-Israel sensitivitas terhadap harga beras global jadi sangat tinggi," kata Bustanul.
Tak hanya itu, terjadi perubahan pola luas panen dan produksi padi pascafenomena El Nino. Panen padi bulanan pada Maret 2024 merosot menjadi 1,11 juta hektare dibandingkan pada periode yang sama tahun 2023 dan 2022 sebesar 1,65 hektare dan 1,76 hektare.
"Musim panen 2024 terlambat sebulan karena musim tanam terlambat sebulan akibat kekeringan El Nino. Akhirnya produksi gabah kering giling (GKG) pada Maret 2024 menjadi 5,87 juta ton. Jauh dibandingkan periode yang sama dua tahun lalu, yaitu 8,02 juta ton dan 9,54 juta ton," paparnya.
Lebih lanjut, Guru Besar Universitas Lampung itu menyatakan bahwa terdapat tiga komoditas strategis lain yang berpotensi terdampak dari perang Iran dan Israel. Ketiganya adalah minyak goreng, gula putih, dan daging sapi.
"Kenaikan harga pangan strategis belum mereda. Dan ini yang kita khawatirkan akan menyebabkan krisis, bukan hanya krisis pangan tetapi juga krisis ekonomi," ungkapnya.
Oleh karena itu, Bustanul menekankan antisipasi terhadap krisis perlu dilakukan oleh pemerintah. Penguatan basis produksi, ketersediaan pangan, dan manajemen stok domestik menjadi salah satu strategi antisipasi krisis pangan akibat perang Iran dan Israel.