KABARBURSA.COM - Perusahaan minyak raksasa Arab Saudi, Saudi Aramco, melaporkan penurunan laba pada semester I 2024 dari USD61,9 miliar menjadi USD56,3 miliar. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya volume penjualan di tengah kekhawatiran tentang kondisi ekonomi global.
“Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh volume penjualan minyak mentah yang lebih rendah, melemahnya margin penyulingan, dan pendapatan keuangan serta pendapatan lainnya yang lebih rendah,” kata Aramco dalam pengajuan di bursa saham Tadawul Riyadh.
Namun, hal ini masih diimbangi oleh harga minyak mentah yang lebih tinggi dan royalti produksi yang lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Akibatnya, meskipun labanya turun, pendapatan masih berhasil mencatatkan peningkatan dari USD218,6 miliar menjadi USD220,7 miliar.
Arab Saudi, pemimpin kartel OPEC, telah bersekutu dengan Rusia dan negara-negara lain di luar kelompok tersebut untuk menekan produksi guna mendongkrak harga minyak global. Harga acuan minyak mentah Brent diperdagangkan sekitar USD77 per barel pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Meski kinerjanya turun, Aramco tetap membagikan dividen atas kinerjanya pada kuartal II sebesar USD20,3 miliar dan mengumumkan dividen terkait kinerja sebesar USD10,8 miliar yang akan dibayarkan pada kuartal III.
Aramco menegaskan kembali dividen dasar kuartal kedua sebesar USD20,3 miliar, dan mengumumkan dividen terkait kinerja sebesar USD10,8 miliar yang akan dibayarkan pada kuartal ketiga. Perusahaan minyak terbesar di dunia itu berharap untuk mengumumkan total dividen sebesar USD124,2 miliar pada tahun 2024.
“Dengan memanfaatkan laba yang kuat ini, kami terus memberikan dividen dasar yang berkelanjutan dan progresif, serta dividen terkait kinerja yang berbagi keuntungan dengan para pemegang saham kami,” kata CEO Aramco Amin Nasser dalam pernyataan pers perusahaan.
Harga saham Aramco diperdagangkan 1,31 persen lebih tinggi tepat setelah pembukaan Tadawul, bursa saham Saudi, pada pukul 10:20 pagi waktu setempat.
Meskipun demikian, penurunan harga minyak telah membebani pergerakan saham Aramco. Harganya telah turun hampir seperlima selama setahun terakhir. Aramco memiliki nilai pasar sebesar USD1,7 triliun, menjadikannya perusahaan paling berharga kelima di dunia, di belakang Apple, Microsoft, NVIDIA, dan Alphabet, yang memiliki Google.
Pada Mei lalu, Aramco jug membayar dividen sebesar USD31 miliar, setara dengan Rp500 triliun, kepada Kerajaan Arab Saudi dan pemegang sahamnya. Padahal, kinerja perusahaan ini di kuartal pertama merosot akibat penurunan harga minyak dan volume penjualan.
Pada kuartal I tahun ini, Aramco melaporkan penurunan laba bersih 14 persen menjadi USD27,3 miliar dari periode sama tahun lalu sebesar USD31,9 miliar. Realisasi laba ini sejalan perkiraan analis.
Dalam rilis laporan keuangan, Aramco juga mengumumkan rencana pembayaran dividen dasar untuk kuartal pertama sebesar USD20,3 miliar dan distribusi dividen terkait kinerja, nilainya sebesar USD10,8 miliar, yang akan dibayarkan pada kuartal kedua. Aramco memperkirakan akan membayarkan total dividen USD124,3 miliar pada tahun 2024.
Keputusan ini diambil lantaran pemerintah Arab Saudi, yang memegang 82,2 persen saham Aramco, sangat bergantung pada pembayaran dari perusahaan ini, termasuk royalti dan pajak. Apalagi, Arab Saudi saat ini dihadapkan pada defisit anggaran.
Arab Saudi sangat membutuhkan dana dari Aramco lantaran tengah melakukan diversifikasi sumber pendapatan ekonomi di luar bahan bakar fosil. Putra Mahkota Mohammed bin Salman tengah membangun proyek miliaran dolar, seperti kota futuristik Neom, untuk membangun industri pariwisata dan mencoba menggenjot liga olahraga. Harapannya, negara eksportir minyak terbesar ini tak lagi bergantung pada minyak.
Terlebih harga minyak saat ini terus menurun karena pasokan Amerika Serikat dan anggota non OPEC+ yang meningkat. Selain itu, permintaan negara-negara besar menurun karena tengah bergulat dengan suku bunga tinggi.
Sejatinya OPEC+ telah menerapkan serangkaian pengurangan produksi sejak akhir 2022. Namun di 2024, harga minyak mentah brent rata-rata berada di kisaran USD83,5 per barel. Padahal menurut hitungan IMF, Arab Saudi membutuhkan minyak berada di harga USD96,2 untuk menyeimbangkan anggaran 2024.
Dengan proyeksi defisit anggaran di tahun ini sebesar 79 miliar riyal, atau setara Rp338,28 triliun, kerajaan Arab Saudi berpotensi menunda sebagian dari banyak mega proyeknya.
Menteri Keuangan Mohammed Al Jadaan, dikutip Reuters, mengatakan, rencana Visi 2030 kerajaan mentransformasi perekonomian akan disesuaikan kebutuhan, dengan beberapa proyek diperkecil atau diperluas dan proyek lainnya dipercepat, di saat kondisi penuh tantangan.(*)