KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia bergerak turun saat bursa mencermati laporan persediaan dari U.S. Energy Information Administration (EIA). Bursa kini hanya menunggu data EIA—sebuah sinyal tunggu-dan-lihat, terutama karena musim hightway pada musim panas hampir usai, dan permintaan pun diperkirakan merosot.
Menurut Reuters, per hari Rabu 13 Agustus 2025, harga Brent mencatat pelemahan sebesar 0,77 persen, bertengger di angka US$ 66,12 per barel. Sementara itu, WTI mencatat penurunan lebih dalam—sekitar 1,24 persen—di level USD63,17.
John Kilduff dari Again Capital menyebut bahwa pasar tidak mendapatkan bantuan dari reli bursa saham. Justru, laporan inflasi AS yang relatif positif membuka kembali peluang bagi Federal Reserve untuk memangkas suku bunga.
Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa inflasi konsumen (CPI) melonjak pada bulan lalu, dipicu oleh lonjakan harga impor yang terimbas tarif. Ini menjadi lompatan inflasi inti terbesar dalam enam bulan terakhir. Kilduff menambahkan bahwa permintaan solar pun mulai menunjukkan tanda kelemahan.
Laporan mingguan dari American Petroleum Institute (API) serta EIA diprediksi akan menampilkan penurunan permintaan minyak—sesuatu yang memang ditunggu oleh banyak pelaku pasar.
Sementara itu, dalam laporan bulanan OPEC, diproyeksikan permintaan minyak global pada 2026 naik hingga 1,38 juta barel per hari (bph)—naik 100 ribu bph dari estimasi sebelumnya. Untuk proyeksi 2025, tetap stagnan.
EIA sendiri memprediksi produksi minyak mentah AS akan mencapai rekor tertinggi, yaitu 13,41 juta bph di tahun 2025—berkat dorongan produktivitas sumur minyak. Namun, tahun berikutnya, produksinya sedikit merosot ke angka 13,28 juta bph.
Prediksi lain dari EIA memperlihatkan penurunan harga rata-rata Brent untuk 2026, menjadi USD 51 per barel. Sebelumnya, angka ini dipatok di US$ 58, namun OPEC dan mitranya mempercepat produksi.(*)