KABARBURSA.COM – Pasar modal terus menunjukkan penolakan terhadap arah kebijakan pemerintah. Ekonom senior INDEF, Didik J Rachbini, menilai hal tersebut dapat berujung pada "vote of no confidence" ke pemerintah jika tidak segera diperbaiki.
"Jadi politik, perilaku pemerintah, dan kebijakan jelas sebagai biang kerok dari pasar menolak. Jika dibiarkan, bisa menjadi reaksi yang tidak bisa dimaafkan oleh pasar," ujar Didik kepada KabarBursa.com, di Jakarta, Minggu, 23 Maret 2025.
Menurutnya, satu-satunya cara meredam kepanikan pasar adalah dengan kebijakan yang lebih ramah terhadap dunia usaha dan investasi. Pemerintah harus menunjukkan sikap pro-pasar, mendekati pelaku ekonomi, dan membuat kebijakan yang lebih stabil serta dapat diprediksi.
Didik menyoroti bahwa kepanikan di pasar modal merupakan reaksi terhadap kebijakan yang melenceng dari harapan pasar.
Faktor utama yang menyebabkan ketidakpastian adalah kondisi fiskal yang buruk, kebijakan agresif tanpa landasan faktual, defisit anggaran yang melebar, serta penerimaan pajak yang terus melemah.
"Kebijakan terhadap APBN, yang sudah buruk pada pemerintahan sebelumnya, kini justru semakin tidak transparan. Pengelolaannya lebih mirip pola komando ketimbang proses demokrasi ekonomi yang terbuka dan masuk akal," tambahnya.
Masalah Utang dan Defisit APBN
Salah satu faktor utama yang memicu ketidakpercayaan pasar adalah pengelolaan utang dan defisit APBN. Menurut Didik, kritik publik terhadap tingginya utang sering kali mendapat respons defensif dari pemerintah, yang justru semakin memperburuk sentimen pasar.
"Defisit penerimaan APBN yang diumumkan terlambat juga memperjelas bahwa pengelolaan fiskal kita tidak pruden. Ini menjadi sinyal negatif bagi pasar dan investor," pungkasnya.
Kondisi Trading Halt
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan signifikan dalam beberapa bulan terakhir, dengan puncaknya terjadi pada perdagangan hari Selasa, 18 Maret 2025 kemarin ketika indeks anjlok hingga 7 persen dalam satu sesi.
Menanggapi fenomena ini, Pakar Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan tekanan hebat terhadap pasar modal Indonesia.
"Kami lihat penurunan indeks ini kan sudah mulai terjadi sejak 6 bulan yang lalu ya, konsisten mengalami penurunan gitu. Kemudian satu hari kemarin itu betul-betul penurunan yang sangat dramatis," kata Wijayanto dalam tayangan eksklusif program Bursa Pagi-Pagi pada Rabu, 19 Maret 2025.
Menurut Wijayanto, faktor pertama adalah kondisi fundamental ekonomi domestik yang kurang menggembirakan.
“Data realisasi APBN Februari yang berada di bawah ekspektasi menimbulkan kekhawatiran terhadap outlook fiskal tahun ini, yang diperkirakan akan semakin berat," ucap dia.
Selain itu, dalam empat bulan terakhir, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah diklaim lebih bersifat besar dan bombastis, namun dinilai kurang realistis karena tidak didukung oleh basis teknokrasi yang memadai.
Wijayanto juga menyoroti kekhawatiran pasar terhadap potensi penurunan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat global.
“Dalam waktu dekat, Moody’s dan Fitch dijadwalkan merilis hasil pemeringkatan kredit Indonesia pada April, disusul oleh S&P pada Juni-Juli. Jika outlook fiskal dianggap semakin melemah, bukan tidak mungkin peringkat kredit kita akan mengalami penurunan, yang tentunya berdampak pada arus investasi ke dalam negeri,” papar dia.
Faktor kedua yang berperan dalam tekanan IHSG adalah kondisi global, khususnya tren rebalancing aset yang dilakukan oleh investor besar dunia, termasuk hedge fund.
Saat ini, investor global tengah melakukan reposisi aset sebagai respons terhadap kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah skenario Trump 2.0. "Mereka cenderung memindahkan dana ke aset yang dianggap lebih aman, sementara Indonesia dipersepsikan mengalami peningkatan risiko,” jelas Wijayanto.
Sementara itu, faktor ketiga berasal dari dinamika di dalam pasar modal itu sendiri, khususnya terkait aksi korporasi yang dianggap menciptakan ketidakpastian.
“Dalam beberapa hari terakhir, terjadi gelombang aksi buyback saham yang menyebabkan lonjakan harga secara drastis," katanya.
Beberapa emiten bahkan mengalami kenaikan harga hingga tiga atau empat kali lipat dalam waktu singkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran investor terkait potensi irregularities di pasar.
Profit-Taking Dan Rebalancing
Namun, Wijayanto juga menambahkan bahwa kondisi ini tidak sepenuhnya negatif bagi investor. Sebagian besar hedge fund asing yang tengah menarik dananya dari Indonesia melihat fenomena ini sebagai peluang. "Mereka memanfaatkan momentum untuk melakukan profit-taking dan rebalancing aset mereka di tengah volatilitas yang tinggi,” katanya.
Menurutnya, kombinasi ketiga faktor tersebut yakni fundamental ekonomi yang melemah, tekanan global akibat rebalancing aset, serta ketidakpastian di dalam pasar modal berkontribusi terhadap kejatuhan IHSG dalam beberapa waktu terakhir.
Kemudian, fenomena yang terjadi pada Selasa kemarin mencerminkan tekanan yang telah terakumulasi selama enam bulan terakhir dan mencapai puncaknya dalam satu hari perdagangan.
Dengan kondisi pasar yang masih bergejolak, investor disarankan untuk tetap waspada terhadap perkembangan kebijakan domestik maupun global yang dapat berdampak pada pasar modal Indonesia dalam beberapa bulan ke depan.
Pada perdagangan kemarin, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat memberlakukan trading halt setelah IHSG anjlok lebih dari 5 persen dalam satu sesi. Indeks sempat menyentuh level terendah di 6.011,84 sebelum akhirnya ditutup melemah 3,84 persen ke level 6.223,39.
Langkah penghentian sementara ini dilakukan untuk meredam volatilitas pasar, seiring tekanan jual besar-besaran yang terjadi di berbagai sektor, terutama teknologi yang anjlok hampir 10 persen. Meskipun perdagangan kembali dilanjutkan, aksi jual masih mendominasi hingga akhir sesi.(*)