KABARBURSA.COM - Starlink Services Indonesia (SSI) memberikan diskon sebesar Rp3 juta untuk pembelian perangkat, sehingga harga yang harus dibayar sekarang adalah Rp4,68 juta dari harga awal Rp7,8 juta. Diskon ini berlaku hingga 10 Juni 2024. Paket internet Starlink yang paling ekonomis di Indonesia adalah paket individu dalam rumah dengan harga Rp750.000 per bulan.
Bagaimana dengan harga di negara-negara tetangga? Di Singapura, harga paket berlangganan internet satelit orbit rendah (low earth orbit/LEO) setara dengan Rp1,3 juta, ditambah biaya pembelian perangkat sekitar Rp7,9 juta. Di Filipina, harga berlangganan Starlink adalah Rp747.000 per bulan, dengan biaya perangkat sekitar Rp7,7 juta. Sementara di Malaysia, harga bulanan adalah Rp758.000, dengan biaya pembelian perangkat Rp3,9 juta.
Kehadiran Starlink di Indonesia telah memicu diskusi tentang potensi pelanggaran persaingan usaha, dengan dugaan adanya predatory pricing atau perang harga. Predatory pricing bukan hanya tentang menawarkan harga yang murah, tetapi juga tentang menekan harga di bawah biaya produksi untuk menghancurkan pesaing dan kemudian mendominasi pasar.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) mengungkapkan kekhawatiran atas hadirnya Starlink di segmen ritel, yang bisa mengancam kelangsungan usaha ISP lokal dan mendorong aktivitas internet ilegal. Mereka juga menekankan pentingnya kesetaraan kesempatan berusaha dan kepentingan nasional.
Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) menjelaskan bahwa harga Starlink di Indonesia adalah yang termurah dibandingkan dengan layanan VSAT lainnya. Biaya perangkat selama promosi adalah Rp4,6 juta, dan biaya berlangganan Rp750.000, yang lebih murah dari layanan VSAT lokal yang mencapai Rp3,5 juta.
KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menyatakan kekhawatiran tentang predatory pricing yang dilakukan Starlink, yang bisa merugikan pelaku usaha UMKM. Mereka juga mempertanyakan apakah Starlink menggunakan regulasi yang sama dengan pelaku usaha lainnya, mengingat teknologi yang digunakan adalah teknologi baru.
Starlink Indonesia membantah semua anggapan tersebut, menyatakan bahwa mereka telah mematuhi seluruh regulasi dan telah melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan. Mereka juga mengklaim telah menghubungkan 3 juta orang melalui layanan internet satelitnya di 100 negara, termasuk Indonesia, dan telah mencapai wilayah-wilayah yang sebelumnya belum terjangkau internet.
VP Engineering Starlink, Michael Nicolls, menyatakan bahwa mereka memiliki 221 satelit dengan kemampuan fronthaul 20 Tbps dan telah melakukan 11 peluncuran hingga 1 Juni 2024. Mereka juga menjalankan bisnis telekomunikasi melalui 26 satelit, tanpa operator seluler pada fase awal.
Sempat dinformasikan Kabar Bursa, Starlink beroperasi dengan pemancar atau antena yang terhubung dengan satelit LEO pada ketinggian antara 200-2.000 km di atas permukaan laut. Melalui satelit NGSO dengan kekuatan 180 Gbps HTS Ka/Ku-Band, Starlink bisa menyediakan layanan mandiri tanpa bantuan operator seluler, dikenal sebagai direct to cell.
Menurut Arif, ini menjadi ancaman bagi penyelenggara selular lokal, penyedia infrastruktur menara telekomunikasi, dan seluruh ekosistem industri. Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah juga menyuarakan kekhawatiran bahwa layanan LEO akan mengganggu bisnis perusahaan, mengingat Starlink kini beralih dari skema business to business (B2B) melalui kerjasama dengan Telkomsat, menjadi business to consumer (B2C).
“Kalau pakai antena Starlink dibandingkan dengan IndiHome, bedanya satelit dan fiber optic, nanti juga layanan handphone biasa bisa akses ke Starlink,” jelas Ririek.
Direktur Wholesale dan Layanan Internasional Telkom Bogi Witjaksono, , mengakui keunggulan satelit LEO yang lebih cepat dan kapasitas internet lebih tinggi. “Karena orbit lebih rendah, latensi atau delay lebih kecil sehingga seperti menggunakan jaringan terestrial,” jelas Bogi.
Pasar Indonesia yang besar juga menarik bagi banyak layanan LEO lainnya. “Dalam waktu dekat, akan banyak satelit lokal orbit yang masuk ke negara kita,” tambah Bogi.
Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Gerindra Andre Rosiade membela Telkom dan menyatakan bahwa Starlink hadir tanpa memenuhi persyaratan terlebih dahulu, termasuk tidak memiliki kantor resmi di Indonesia dan belum membayar pajak.
“Ini perlu perhatian serius karena Starlink telah meraup banyak keuntungan di pasar Indonesia. Ia juga menyarankan kerjasama dengan Telkom lebih baik daripada dengan Starlink untuk menyediakan pelayanan internet kepada 3.400 Puskesmas di Indonesia,” kata dia.
Sementara, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP Harris Turino menambahkan bahwa pemerintah Indonesia mengistimewakan Starlink dengan membiarkannya beroperasi meskipun belum menyelesaikan pembangunan Network Operating Center (NOC).
Mengklarifikasi hal ini, kuasa hukum Starlink Services Indonesia menyatakan bahwa mereka telah mematuhi regulasi dan kewajiban dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Satelit Orbit Rendah
Pada November tahun lalu, Elon Musk menyatakan bahwa proyek Starlink telah mencapai impas secara global. Layanan ini juga menjadi penyumbang terbesar dari seluruh satelit yang aktif. Dengan orbit rendah, Starlink diprediksi mampu meraup pendapatan Rp105 triliun dari pelanggan di seluruh dunia, dengan laba mencapai Rp60 triliun.
Pemerintah Indonesia telah mengisyaratkan dorongan agar Starlink berinvestasi di Indonesia, terbukti dengan pemberian izin dan sertifikasi penyelenggara sektor telekomunikasi. Fokusnya adalah pengembangan jaringan internet non-perkotaan.
Pengamat teknologi siber dan jaringan keamanan IT Alfons Tanujaya menilai bahwa kehadiran Starlink di segmen ritel justru menguntungkan Indonesia. Menurutnya, perkembangan teknologi adalah tentang disrupsi, mengubah dunia karena lebih andal, cepat, murah, dan efisien.
“Tidak perlu khawatir dimata-matai oleh Starlink, karena dengan menggunakan WhatsApp, Google Maps, dan ponsel Android atau iPhone, kita sudah secara sukarela dimata-matai,” ucap Alfons.
Soal ancaman data, Alfons menegaskan bahwa Starlink memiliki risiko yang sama dengan jaringan internet yang ada saat ini. Pentingnya memiliki NOC sebagai syarat sertifikasi, dan keunggulan Starlink yang berpotensi menggantikan teknologi tower industri telko, membuat Indonesia juga bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu percepatan ekonomi digital.
“Jika ada yang lebih murah, silakan berpindah, sama seperti memilih kabel serat optik, di mana yang dipilih adalah yang memberikan layanan dan harga terbaik,” pungkas Alfons. (*)