KABARBURSA - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama mengaitkan profil calon anggota legislatif (caleg) yang tidak bisa diakses sebagai tidak patuhnya pada inisiatif data pemilihan umum (pemilu) terbuka.
"Kami melihat, menyederhanakan ada tiga hal dari inisiatif ini yang kemudian bisa berdampak. Satu membuat data pemilu aksesibel bagi publik, gitu ya," katanya dalam diskusi publik secara daring, "30 persen Calon Legislatif (Caleg) Tutup Akses Profilnya Akibat Kebijakan KPU", yang digelar AJI Indonesia pada Selasa, 13 Februari 2024.
Yang kedua, ujar Heroik, keterbukaan data merupakan sarana membangun kepercayaan (building trust) terhadap legitimasi, proses, dan hasil pemilu yang dapat tercapai dengan baik.
"Terakhir adalah meningkatkan inovasi dan public engagement termasuk partisipasi publik terhadap data-data itu yang kemudian bisa disebar luaskan," ucapnya.
Lebih lanjut, Heroik menjelaskan data terbuka tersebut tidak sebatas pada daftar riwayat hidup (CV), tetapi termasuk dana kampanye dan sistem perhitungan suara seperti terlihat pada pemilu sebelumnya.
"Problemnya hari ini bukan hanya CV ya, tetapi kalau kita lihat soal data dana kampanye, dan nanti di Situng," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menilai KPU telah membatasi keterbukaan informasi publik terhadap caleg yang ikut pada Pemilu 2024.
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur bahwa hak memperoleh informasi berlaku untuk semua orang, sehingga batasan-batasan yang dilakukan KPU tidak tepat.
"Ini untuk meningkatkan kepercayaa publik melalui transparansi, melalui akuntabilitas penyelenggaraan pemilu dan meningkatkan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemilu," paparnya.
Ade mengakui bahwa penyelenggaraan pemilu saat ini sebuah ironi. Di satu sisi ada ketertutupan informasi dan di sisi lain ada "keterbukaan informasi" yang sangat luas.
Ketertutupan informasi terlihat ketika KPU menerapkan kebijakan untuk menutup informasi 30 persen riwayat hidup caleg yang masih dalam sengketa informasi dengan KPU.
"Bagaimana publik bisa memilih, menilai, melihat rekam jejak pejabat publik sedangkan dia tidak membuka datanya," ucapnya.
"Kalau misalkan masih jadi caleg saja sudah tertutup, bagaimana kemudian nanti terpilih apakah akan semakin tertutup atau seperti apa," tutur Ade. (ari/pram)