KABARBURSA.COM -Nilai tukar Rupiah esok hari diperkirakan masih loyo. Senin, 24 Juni 2024, pasar mata uang sepertinya masih dipengaruhi oleh arah kebijakan suku bunga global. Hal ini disampaikan oleh Pengamat Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong. Walau begitu, menurut dia, investor akan mengantisipasi data inflasi Price Consumption Expenditure (PCE) AS seiring absennya data ekonomi penting dari domestik.
Data Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan kembali moderat. Namun, investor belum sepenuhnya optimis karena sikap hawkish yang masih dipegang oleh pejabat Federal Reserve (The Fed).
“Tidak ada data penting pada hari Senin, jadi investor wait and see terhadap data PCE AS pekan depan,” ujar Lukman, dikutip Minggu, 23 Juni 2024.
Selain itu, Lukman menambahkan, data Indeks Manajer Pembelian (PMI) AS dari S&P Global menunjukkan aktivitas ekonomi tetap kuat di kedua sektor pada Juni, yang dirilis Jumat, 21 Juni 2024. Hal ini diperkirakan akan terus menekan rupiah karena penguatan dolar AS.
Data PMI AS menunjukkan PMI Manufaktur S&P Global meningkat menjadi 51,7 pada Juni dari 51,3 pada Mei, sementara PMI Jasa naik menjadi 55,1 dari 54,8 sebelumnya. Kedua hasil tersebut lebih tinggi dari ekspektasi analis, menunjukkan pertumbuhan ekonomi AS tetap kuat.
Lukman menjelaskan, pelemahan rupiah saat ini tidak lepas dari tekanan akibat solidnya dolar AS. The Greenback menguat seiring pernyataan hawkish para pejabat The Fed yang mengabaikan fakta bahwa data ekonomi AS sebenarnya telah membaik.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan bahwa para pejabat The Fed membiarkan kebijakannya tidak berubah pada pertemuan mereka di bulan Juni. Selain itu, Bank Sentral Amerika tersebut memangkas proyeksi sebelumnya untuk pemotongan tiga perempat poin tahun ini menjadi satu, meskipun inflasi telah mereda dan pasar tenaga kerja telah melemah.
“Kemudian, pedagang tetap mewaspadai tanda-tanda intervensi berkelanjutan oleh Bank of Japan (BoJ) untuk meningkatkan mata uang yang mencapai posisi terendah dalam 34 tahun pada akhir April,” ungkap Ibrahim dalam risetnya, Jumat, 21 Juni 2024.
Ibrahim juga menjelaskan bahwa sebelumnya Bank Sentral Inggris (BoE) mempertahankan suku bunganya, dan beberapa pembuat kebijakan mengatakan keputusan mereka untuk tidak melakukan pemotongan adalah seimbang.
Sementara itu, Swiss National Bank memangkas suku bunga untuk kedua kalinya, serta Bank of England (BoE) membuka kemungkinan pelonggaran pada bulan Agustus setelah mempertahankan suku bunga tetap stabil.
Dari dalam negeri, Ibrahim menuturkan bahwa pasar terus memantau ketidakpastian arah kebijakan fiskal yang meningkatkan risiko fiskal sebagai salah satu faktor pelemahan mata uang rupiah. Hal itu seiring proyeksi defisit anggaran yang cukup besar, sekitar 2,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), mendekati batas atas level 3 persen dari PDB.
“Sebenarnya rupiah tidak perlu mengalami pelemahan yang panjang jika pasokan dolar dari surplus neraca perdagangan mengalir ke pasar. Pelemahan rupiah merupakan anomali karena Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan yang cukup baik,” ujar Ibrahim.
Oleh karena itu, Ibrahim memperkirakan rupiah akan ditutup melemah di rentang Rp16.440 – Rp16.510 per dolar AS di perdagangan Senin, 24 Juni 2024. Sementara itu, Lukman memproyeksikan Rupiah akan ditutup melemah di rentang Rp16.400 – Rp16.550 per dolar AS.
Pada Jumat, 21 Juni 2024, Rupiah spot ditutup pada level Rp16.450 per dolar AS. Dalam sepekan, Rupiah spot melemah sekitar 0,23 persen dan melemah sekitar 0,12 persen secara harian.
Rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI) terpantau ikut melemah. Sementara, hingga Jumat, 21 Juni 2024 kemarin, Rupiah Jisdor ditutup pada posisi Rp16.458 per dolar AS, melemah sekitar 0,51 persen secara mingguan dan 0,23 persen secara harian.
Sementara itu, kepala otonom Bank Permata Josua Pardede, mencermati pelemahan Rupiah yang masih dilatarbelakangi oleh sentimen dari China yang belum mereda. Alhasil, nilai tukar di kawasan Asia cenderung bergerak mixed dengan Bath Thailand yang terapresiasi paling tinggi. Sedangkan Won Korea Selatan terdepresiasi paling dalam.
Pasar Asia kelam di sepanjang minggu ini akibat kebijakan Peoples Bank of China (PBoC) yang melakukan fixing reference rate harian yang lebih lemah dari perkiraan. Sehingga, wajar rupiah terkena dampaknya dengan pelemahan sekitar 0,23 persen dalam sepekan.
“Sepanjang pekan ini, Rupiah cenderung melemah sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian di kawasan Asia dan kemungkinan seperti ini terus berlanjut hingga pekan depan,” imbuh Josua.(*)