KABARBURSA.COM - Pergerakan nilai tukar rupiah kembali tertekan dalam perdagangan hari ini, Rabu, 26 Juni 2024, terseret oleh kejatuhan mata uang Tiongkok, yuan, dan kebangkitan dolar Amerika Serikat (AS) akibat nada hawkish baru dari para pejabat Federal Reserve (The Fed).
Rupiah yang pagi tadi dibuka melemah di Rp16.441/USD dan sempat menyentuh level terlemah di Rp16.448/USD, saat ini masih tertekan di kisaran Rp16.433/USD pada pukul 14:33 WIB.
Level itu bahkan lebih lemah dibandingkan nilai rupiah di pasar Nondeliverable Forward (NDF) yang ada di kisaran Rp16.426-Rp16.431/USD. Inversi ini kemungkinan karena adanya kontrak NDF jatuh tempo yang tidak bisa diperpanjang sehingga para pemburu valuta asing (valas) beralih menyerbu pasar spot untuk mencari dolar AS.
Tekanan yang dihadapi rupiah berlangsung ketika pasar saham masih bergerak di zona hijau dan yield Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi, dengan tenor 10 tahun naik sedikit ke 7,108 persen dan tenor dua tahun di 6,839 persen.
Rupiah terseret pelemahan yang dialami oleh yuan yang tergerus nilainya 0,05 persen terhadap dolar AS, ketika level imbal hasil obligasi pemerintah Tiongkok terjatuh ke level terendah dalam 22 tahun terakhir di 2,22 persen karena kekhawatiran terkait prospek pertumbuhan ke depan.
Pada saat yang sama, indeks dolar AS bangkit lagi mendekati 106 akibat pernyataan bernada hawkish dari pejabat The Fed dini hari tadi. Gubernur The Fed, Michelle Bowman, menyatakan bahwa ia melihat masih ada risiko kenaikan inflasi sehingga menurunkan bunga acuan terlalu cepat justru akan memicu potensi kenaikan bunga lagi di masa mendatang.
"Mengurangi policy rate terlalu cepat bisa memicu lonjakan inflasi lagi, yang membutuhkan kenaikan bunga acuan lebih lanjut di masa depan untuk mengembalikan inflasi ke target 2 persen dalam jangka panjang," kata Bowman.
Akibatnya, pasar pun diselimuti sentimen negatif. Valuta Asia mayoritas tergerus turun sampai siang ini. MSCI Emerging Market Currency Index turun 0,2 persen sementara MSCI Emerging Market Stock Index masih naik 0,1 persen.
Rupiah dan dolar Taiwan memimpin pelemahan mata uang regional sampai siang ini dengan penurunan nilai hingga 0,35 persen, disusul oleh baht Thailand 0,21 persen, ringgit Malaysia 0,21 persen, rupee India 0,19 persen, dan dolar Singapura 0,12 persen.
Bank Indonesia (BI) terpantau ada di pasar mengintervensi pelemahan rupiah. Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI Edi Susianto, menyatakan bahwa BI ada di pasar untuk memastikan keseimbangan penawaran dan permintaan valas, seperti dilansir Bloomberg.
Edi mengatakan bahwa pelemahan rupiah disebabkan oleh sinyal terbaru The Fed yang tidak ingin terburu-buru memotong bunga acuan, bersamaan dengan meningkatnya permintaan dolar AS dari korporasi. Sementara suplai valas dari para eksportir masih terlihat memadai di pasar saat ini.
Pemerintah menjual Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias sukuk global senilai USD2,35 miliar dalam tiga seri bertenor 5 tahun, 10 tahun, dan 30 tahun. Seri INDOIS-5Y (jatuh tempo 2029) terjual USD750 juta dengan imbal hasil 5,1 persen. Seri INDOIS-10Y (jatuh tempo 2034) memberikan yield 5,2 persen dan terjual USD1 miliar, sementara INDOIS-30Y (jatuh tempo 2054) memberi yield 5,5 persen dan terjual USD600 juta.
Imbal hasil tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) valas di pasar saat ini (INDON). INDON tenor 5 tahun siang ini ada di 4,96 persen, tenor 10 tahun di 5,06 persen, dan tenor 30 tahun di 5,40 persen.
Sementara bila dibandingkan dengan yield US Treasury, surat utang AS yang menjadi acuan surat utang berdenominasi dolar AS, yield untuk tenor UST-5Y siang ini ada di kisaran 4,29 persen, tenor 10 tahun di 4,26 persen, dan tenor 30 tahun di 4,39 persen.
Pemerintah memberikan imbal hasil yang tinggi meskipun animo pasar cukup besar untuk membeli sukuk global tersebut, dengan nilai pemesanan mencapai USD4,5 miliar untuk tiga tenor tersebut.
Penjualan sukuk global dengan nilai yang cukup besar ini akan menambah cadangan devisa (cadev) RI bulan ini yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Pada akhir Mei, posisi cadangan devisa RI mencapai USD139 miliar, bertambah sekitar USD2,8 miliar dalam satu bulan, sebagian disumbang oleh hasil penjualan samurai bond senilai USD1,3 miliar bulan lalu.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, mengungkapkan bahwa tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun atau kuartal IV-2024.
Menurut Eko, penguatan rupiah hingga akhir 2024 hanya akan terjadi pada momen-momen tertentu seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) dan masa libur akhir tahun.
“Sampai akhir tahun dugaan saya akan ada booster di kuartal IV-2024 karena ada pilkada dan libur akhir tahun, tapi memang secara umum rupiah ini akan cenderung tidak stabil,” ungkap Eko dalam agenda Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun INDEF 2024: Presiden Baru, Persoalan Lama, Selasa 25 Juni 2024.
Eko menambahkan bahwa tidak stabilnya rupiah disebabkan karena banyak pengusaha yang masih bergantung pada bahan baku impor. Mereka perlu membeli dolar AS untuk memenuhi kebutuhan impor mereka. “Otomatis mereka memburu dolar AS untuk bisa mencukupi kebutuhan itu,” tambah Eko.(*)