KABARBURSA.COM - TikTok tengah menggarap replika algoritme rekomendasinya untuk 170 juta penggunanya di Amerika Serikat. Langkah ini dilakukan untuk menciptakan versi yang operasional secara mandiri dari induknya di Tiongkok, ByteDance. Langkah ini juga dinilai lebih sesuai dengan keinginan anggota parlemen AS yang ingin melarang aplikasi tersebut. Menurut sumber-sumber terpercaya, upaya ini tengah berlangsung.
Pemisahan kode sumber yang diperintahkan oleh ByteDance pada akhir tahun lalu telah melampaui pembahasan rancangan undang-undang (RUU) yang memaksa penjualan operasi TikTok di AS. RUU ini mulai mendapat dukungan dari Kongres pada tahun ini dan ditandatangani menjadi undang-undang pada bulan April.
Sumber-sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya karena tidak memiliki izin untuk berbicara secara terbuka tentang aplikasi berbagi video pendek ini mengungkapkan bahwa pemisahan kode sumber ini bisa menjadi dasar untuk divestasi aset-aset di AS, meskipun belum ada rencana konkret untuk melaksanakannya.
Sementara perusahaan sebelumnya menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk menjual aset AS dan menganggap langkah semacam itu tidak mungkin dilakukan, TikTok awalnya menolak memberikan komentar. Namun, setelah berita ini tersebar, TikTok akhirnya merespons dalam sebuah postingan di X dengan menyatakan bahwa berita Reuters yang dipublikasikan hari ini menyesatkan dan secara faktual tidak akurat.
TikTok juga membagikan kutipan dari gugatan federal yang menyatakan bahwa divestasi yang diminta oleh undang-undang untuk memungkinkan TikTok tetap beroperasi di AS sangat tidak mungkin dilakukan, baik secara komersial, teknologi, maupun hukum, terutama dalam jangka waktu 270 hari yang ditetapkan oleh undang-undang.
Sementara itu, pengadilan federal AS telah menetapkan jadwal jalur cepat untuk mempertimbangkan tantangan hukum terhadap undang-undang baru yang mengharuskan penjualan atau pelarangan TikTok di AS, yang dilakukan oleh TikTok dan induk perusahaannya, ByteDance, pada bulan Mei.
TikTok Dilarang di AS
Dalam konteks sejarahnya, para pemimpin politik Amerika Serikat telah mengidentifikasi TikTok sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan nasional. Hal ini disebabkan oleh kepemilikan TikTok oleh ByteDance, sebuah entitas asal Cina. Kekhawatiran terbesar adalah kemungkinan data pribadi dari lebih dari 170 juta pengguna TikTok di Amerika Serikat dapat diserahkan kepada pemerintah Tiongkok.
Meskipun TikTok dengan tegas membantah klaim bahwa platformnya dapat dimanipulasi oleh pemerintah Tiongkok, keraguan masih terus mengemuka. Perusahaan bahkan menegaskan bahwa tidak ada data pengguna AS yang pernah diserahkan kepada otoritas Tiongkok dan tidak akan dilakukan jika diminta.
Namun, dalam pengembangan yang mengejutkan, ByteDance sebagai induk perusahaan TikTok, memilih untuk menutup platform ini daripada menjualnya. Keputusan ini diambil setelah berbagai upaya hukum yang gagal untuk melawan undang-undang yang melarang TikTok dari toko aplikasi di Amerika Serikat. Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini bagi ByteDance.
Penutupan TikTok juga terkait erat dengan fakta bahwa platform ini berbagi algoritma inti dengan aplikasi domestik ByteDance, seperti Douyin. Memisahkan algoritma ini dari aset TikTok di Amerika Serikat akan menjadi tugas yang sangat rumit, dan kemungkinan besar tidak akan dipertimbangkan oleh ByteDance.
India menjadi salah satu negara pertama yang memberlakukan larangan terhadap TikTok, bersama dengan sekitar 60 aplikasi Cina lainnya. Langkah ini diambil dalam konteks ketegangan militer di perbatasan Himalaya yang berbatasan dengan Tiongkok. India menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk melindungi data pribadi warganya.
Di samping itu, Taliban di Afghanistan juga telah melarang penggunaan TikTok pada tahun 2022, dengan alasan masalah moral. Iran juga merupakan salah satu negara yang melarang TikTok, dengan alasan aplikasi ini memblokir alamat IP Iran.
Bagi lebih dari 170 juta pengguna TikTok di Amerika Serikat, larangan ini akan berdampak besar. Meskipun aplikasi mungkin tidak langsung hilang dari ponsel mereka, tidak lagi tersedia di toko aplikasi Apple dan Google akan membuatnya tidak dapat diunduh kembali.
Dampak lain dari larangan ini adalah ketidakmungkinan untuk menerima pembaruan, patch keamanan, dan perbaikan bug. Seiring berjalannya waktu, kemungkinan besar aplikasi ini akan menjadi tidak dapat digunakan sama sekali, menambah risiko keamanan bagi pengguna.
Bagi banyak remaja yang menggandrungi TikTok, larangan ini tentu merupakan pukulan berat. Namun, bagi yang enggan melepaskan TikTok begitu saja, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menghindari larangan pemerintah AS, seperti menggunakan VPN atau toko aplikasi alternatif.
atau bahkan memasang kartu SIM asing ke ponsel mereka. Meskipun solusi ini mungkin terlihat rumit, namun bagi sebagian pengguna yang sangat bergantung pada TikTok, ini mungkin merupakan langkah yang layak untuk dijelajahi.
Kesimpulannya, larangan TikTok di Amerika Serikat menimbulkan berbagai dampak yang kompleks dan signifikan. Meskipun langkah-langkah ini diambil dengan alasan keamanan nasional, dampaknya meluas ke aspek-aspek seperti privasi pengguna, kebebasan berekspresi, dan ekosistem digital secara keseluruhan. Bagi pengguna, terutama generasi muda, larangan ini bukan hanya kehilangan akses ke platform hiburan favorit mereka, tetapi juga memunculkan pertanyaan yang lebih dalam tentang peran teknologi dan kebijakan dalam era digital ini.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.