KABARBURSA.COM – Pengamat ekonomi Next Policy, Dwi Raihan, menyoroti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang turun selama dua bulan terakhir. Adapun hal tersebut dinilai sebagai cerminan kekhawatiran investor terhadap kebijakan ekonomi Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang dianggap populis dan berisiko bagi stabilitas fiskal.
Menurutnya pemerintah bergerak terlalu cepat dalam menerapkan kebijakan tanpa mempertimbangkan keterbatasan fiskal.
"Pemerintah terlalu cepat lari dengan fiskal yang terbatas. Saat ini kita menghadapi defisit anggaran, jatuh tempo utang yang besar, dan program prioritas pemerintah yang membutuhkan dana besar. Sayangnya, ini tidak diimbangi dengan kemampuan fiskal yang memadai," ujar Dwi kepada KabarBursa.com di Jakarta, Rabu, Maret 2025.
Tren penurunan IHSG sejak awal tahun mengindikasikan bahwa investor tidak menyambut baik kebijakan pemerintah. Kondisi ini diperparah oleh ketidakpastian sosial politik dalam negeri yang membuat investor memilih menarik dananya dari pasar modal.
"Faktor lain seperti kebijakan ekonomi Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik global juga turut mempengaruhi. Namun, yang paling utama adalah stabilitas di dalam negeri," tambahnya.
Jika tren ini terus berlanjut, Dwi memperingatkan bahwa kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia bisa semakin menurun.
"Investor akan semakin keluar dari IHSG karena dinilai terlalu berisiko. Aset dan kekayaan perusahaan juga akan ikut menyusut, yang berdampak pada kesulitan mendapatkan pendanaan. Ini akhirnya bisa menurunkan potensi penerimaan negara akibat lesunya aktivitas di pasar modal," jelasnya.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa pemerintah harus menjaga faktor kepercayaan agar pasar tetap kondusif.
"Kepercayaan investor harus dijaga. Caranya adalah dengan regulasi yang jelas, kebijakan yang konsisten, serta komitmen dalam pemberantasan korupsi," pungkasnya.
Bursa Berkinerja Lemah
Pasar modal Indonesia menghadapi tantangan besar sepanjang kuartal pertama tahun ini. Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan 11,61 persen hingga 21 Maret 2025, menjadikannya salah satu bursa berkinerja terlemah di antara pasar dengan kapitalisasi di atas USD100 miliar.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Jeffrey Hendrik, mengklaim kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dialami oleh bursa Malaysia dan Thailand yang sama-sama menghadapi arus keluar modal akibat perubahan sentimen global.
Ia menyebut tekanan terhadap IHSG tidak terlepas dari sejumlah faktor eksternal. Di awal tahun, Bank Indonesia menurunkan suku bunga, yang beriringan dengan kebijakan tarif dagang baru oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah negara mitra.
Selain itu, beberapa saham di bursa Indonesia mengalami penurunan peringkat dari lembaga internasional seperti Morgan Stanley, yang semakin menambah tekanan terhadap indeks.
Namun, di tengah kondisi ini, peran investor domestik menjadi semakin dominan dalam menopang pasar. Jeffrey mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sekitar Rp30 triliun dana asing telah keluar dari pasar ekuitas Indonesia. Meski demikian, mayoritas dari arus keluar tersebut telah terserap oleh investor domestik, khususnya investor ritel yang kini berkontribusi sebesar 44 persen dari total nilai transaksi harian.
"Kami melihat bahwa peran investor domestik, terutama ritel, sangat signifikan dalam menjaga stabilitas pasar. Namun, untuk skala yang lebih besar, diperlukan dukungan dari investor institusi seperti dana pensiun dan asuransi guna meredam volatilitas yang ditimbulkan oleh aksi jual asing," ujar Jeffrey dalam acara buka puasa bersama media pasar modal di Semasa Dulu, Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin, 24 Maret 2025.
Menurut dia pertumbuhan jumlah investor di pasar modal Indonesia terus menunjukkan tren positif. Hingga Maret 2025, tercatat lebih dari 850 ribu investor baru, sehingga total investor pasar modal Indonesia kini mencapai lebih dari 15,7 juta orang.
Aktivitas di bursa juga terus meningkat, tercermin dari 10 perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya di BEI sepanjang kuartal pertama tahun ini. Selain itu, transaksi di berbagai produk multi-aset juga mengalami pertumbuhan, dengan rata-rata nilai transaksi harian saham mencapai Rp11,87 triliun, sementara total transaksi non-saham dan perdagangan karbon masing-masing mencapai Rp721,34 miliar dan Rp27,27 miliar.
Jeffrey menekankan bahwa kondisi saat ini merupakan bagian dari siklus alami pasar modal yang telah berulang kali terjadi. Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah menghadapi berbagai krisis besar, mulai dari krisis ekonomi 1998, krisis keuangan global 2008, hingga pandemi 2020. Namun, setiap kali menghadapi tantangan besar, pasar modal Indonesia selalu berhasil bangkit dan tumbuh lebih kuat.
"Kami yakin bahwa setelah fase volatilitas ini, pasar akan kembali pulih. Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap krisis yang terjadi selalu diikuti oleh periode pemulihan dan pertumbuhan yang lebih baik. Oleh karena itu, investor yang mampu melihat peluang dalam kondisi pasar yang sedang terdiskon berpotensi mendapatkan keuntungan besar di masa depan," kata dia.
Di tengah dinamika yang terjadi, BEI terus berupaya memperkuat pasar modal Indonesia dengan mendorong partisipasi lebih luas dari investor domestik dan menghadirkan instrumen investasi baru yang lebih beragam. Dengan pondasi yang semakin kuat, pasar modal Indonesia diyakini mampu menghadapi berbagai tantangan global dan tetap menjadi salah satu pilihan utama bagi para investor.
Volatilitas IHSG, Apa Pemicunya?
Pengamat Ekonomi, Yanuar Rizky menilai pelemahan IHSG dan volatilitas pasar saat ini dipicu oleh sejumlah faktor, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan tekanan utama berasal dari dinamika rebalancing portofolio global hedge fund yang lazim terjadi pada periode Maret.
Global hedge fund semacam klub investasi eksklusif yang dikelola oleh profesional dan punya strategi lebih bebas dibanding reksa dana biasa. Mereka bisa cari untung dari pasar yang naik maupun turun dengan berbagai cara seperti jual beli saham.
“Kita sedang menghadapi game volatilitas yang menekan Bank Indonesia (BI) untuk bersaing dalam menetapkan suku bunga baru untuk instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI),” ujar Yanuar melalui pesan singkat kepada Kabarbursa.com pada Senin, 24 Maret 2025.
Ia menambahkan bahwa meskipun Bank Indonesia (BI) masih dapat menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah gejolak pasar saham, harga yang harus dibayar adalah lonjakan utang luar negeri BI akibat kebutuhan menyerap likuiditas melalui SRBI dengan tingkat bunga yang meningkat.
“Apakah ini terkendali? Sepanjang ini masih sebatas permainan rebalancing portofolio temporer hedge fund global yang biasa terjadi di Maret, maka volatilitas bisa mereda di April,” tutur dia.
Namun, Yanuar menggarisbawahi adanya potensi risiko lanjutan dari sisi fiskal dan sosial politik. Menurutnya, masalah pada on curve fiskal atau tren ekonomi fiskal Indonesia berpotensi memperburuk kondisi transaksi antar kelas masyarakat dan berujung pada pelemahan ekonomi domestik yang lebih dalam.
“Problemnya isu fiskal kita sedang buruk. A head the curve ada potensi pemburukan kondisi akibat masalah sosial politik,” paparnya.(*)