KABARBURSA.COM – Indonesia menempati posisi peringkat pertama dalam daftar negara tujuan investasi hijau China. Klaster investasi nikel dan bahan prekursor, serta pusat baru proyek manufaktur panel surya, menjadikan Indonesia poros penting dalam rantai nilai industri hijau global yang tengah dikembangkan China.
Temuan ini terungkap dalam laporan kebijakan berjudul “China’s Green Leap Outward” yang diterbitkan oleh Net Zero Industry Policy Lab.
Laporan tersebut mencatat, perusahaan China telah mengucurkan investasi sedikitnya USD227 miliar, bahkan mendekati USD250 miliar, ke proyek manufaktur hijau global. Angka ini melampaui nilai investasi Marshall Plan Amerika Serikat (AS) sebesar USD200 miliar (dalam dolar 2024) ketika negara tersebut mendominasi industri serupa.
ASEAN masih menjadi tuan rumah proyek terbanyak, meski aliran modal ke Timur Tengah dan Afrika Utara melonjak lebih dari 20 persen dari kesepakatan baru. Meski demikian, Indonesia bersama Malaysia, Brasil, dan Hungaria tetap menarik aliran proyek baru secara stabil.
“Perusahaan China tengah melakukan ekspansi. Namun, apakah megaproyek industri hijau ini membawa hasil pembangunan positif atau sekadar menjadikan negara tuan rumah sebagai ‘pulau manufaktur’ sangat bergantung pada pilihan kebijakan domestik. Negara-negara perlu merencanakan, mendanai, dan melaksanakan kebijakan industri hijau serta bernegosiasi keras dengan perusahaan China demi mencapai prioritas pembangunan berkelanjutan,” kata Tim Sahay, Co-director Net Zero Industrial Policy Lab Johns Hopkins, dikutip Senin, 29 September 2025.
Manufaktur material baterai kini menjadi sektor terbesar dalam belanja teknologi hijau luar negeri China. Setelah memasukkan proyek 2025, nilai komitmen yang diumumkan melebihi USD62 miliar, meski jumlah proyeknya hanya separuh dari proyek surya.
Investasi ini sangat terpusat di kawasan ASEAN, terutama Indonesia yang memiliki cadangan nikel dan kobalt melimpah. Sebagai contoh, produsen material baterai berbasis nikel seperti CNGR, Huayou Cobalt, dan GEM memusatkan operasinya di Indonesia.
Selain ASEAN yang tetap menjadi kawasan paling aktif, laporan tersebut juga mencatat kemunculan titik panas baru, yakni Indonesia untuk material baterai, Maroko untuk fasilitas katoda dan hidrogen, serta negara-negara Teluk untuk manufaktur modul surya dan elektroliser. Eropa dan AS masih menarik proyek bernilai tinggi, khususnya di baterai dan surya. Namun, hambatan perdagangan yang meningkat mendorong arus modal bergeser ke Amerika Latin, Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara.
Laporan tersebut merekomendasikan agar negara-negara memanfaatkan keunggulan sumber daya yang dimilikinya. Negara dengan mineral kritis, energi terbarukan berlimpah, atau pasar konsumen besar dapat menempatkan diri dalam rantai pasok yang berpusat di China, dengan catatan harus memastikan adanya transfer teknologi, perlindungan lingkungan, serta klausul penambahan nilai lokal.
Naomi Devi Larasati, Policy Strategist CERAH mengungkapkan, China memang pemain besar di sektor energi terbarukan. Kolaborasi dengan China menjadi langkah yang wajar dalam upaya Indonesia untuk mempercepat transisi energi. Namun, pada saat yang sama, investasi China selama ini di Indonesia tidak sepenuhnya bebas masalah.
Trend Asia mencatat 93 kecelakaan kerja di industri nikel Indonesia pada 2015–2023, termasuk 21 korban jiwa di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS).
Selain itu, PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHI) dilaporkan menyebabkan pencemaran udara akibat PLTU captive yang digunakan, yang mengakibatkan peningkatan kasus ISPA dari 735 kasus pada 2021 menjadi lebih dari 1.100 pada 2023.
“Isu-isu ini perlu ditangani jika ingin terus melanjutkan investasi China di sektor mineral kritis dan baterai nikel di Indonesia. Indonesia perlu memastikan bahwa investasi China benar-benar membawa manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya di sekitar lokasi industri, bukan hanya keuntungan ekonomi bagi pemerintah pusat. Hal ini mencakup penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat, alih teknologi dan keterampilan, serta kepatuhan terhadap standar ESG,” Naomi menegaskan.